Kamis, 27 Februari 2014

Profil Caleg : Hak Azasi Orang Gila



Hak Azasi Orang Gila

Tujuh orang gila berdiskusi seru di sebuah pantai terkenal di Samosir. Angin sepoi mampu menenangkan pikiran mereka yang gundah.
Sehari sebelumnya, mereka hampir sepakat untuk mendatangi Dinas Kependudukan, untuk menanyakan hak mereka sebagai Warga Negara, meskipun mereka sadar bahwa mereka gila, dan karena gila sangat tahu diri,  tidak ikut serta meminta proyek apapun kepada Pemkab. Mereka sadar, kalau mereka mencoba melakukannya, pasti akan diusir dan dibentak-bentak, bahkan mungkin akan diborgol, karena bisa-bisanya meminta proyek,  padahal gila.
Diskusi sedikit agak terkendala, karena tidak seorang pun bisa menjelaskan, dari mana asal-usul mereka, apakah dari Tapanuli Utara, Humbahas, Tobasa, Dairi, Karo, Simelungun atau Samosir, karena mereka bisa bersua di Pantai itu lebih karena tuntunan Naluri, dan bukan karena melihat peta, atau otak. Yang pasti, dari tuturan ke 7 orang itu, mereka bukan berasal dari satu daerah, karena satu sama lain tidak saling mengenal, dan mereka pastikan, tidak sedang membentuk Komunitas Orang Gila (KOG).
Saat perdebatan masuk pada bagian, Apakah orang gila di negeri ini masuk dalam statistic kependudukan, dan apakah berhak mendapat KTP dan selanjutnya bisa ikut memilih di Pileg April 2014, tiba-tiba seorang pria gagah, berkulit putih, menyapa mereka. “Hallo semuanya, apa kabar?”  
Disapa manis seperti itu, serempak mereka menyambut, “Hallo Bapa.”
“Sudahlah, kalian tidak usah khawatir. Kelak saya akan sama dengan kalian, jika kalah dalam Pileg April ini. Soalnya, semua modal untuk membeli suara 1500 orang  x Rp 300.000 adalah hasil pinjaman. Berbunga pulak. Karena itu, kalian harus membantu saya. Kalau menang, yang pertama saya bangun adalah Rumah Singgah Orang Gila (RSOG). Rumah ini akan berfungsi tempat isterahat orang gila sambil dilakukan perawatan, sampai tidak gila lagi,” ujar pria gagah ini.
“ Maksud bapak?” Tanya salah seorang dari mereka.
“ Yah, saya coba nanti bekerja sama dengan Dinas Kependudukan, dengan cara ‘menembak’ tentunya, lalu akan kerjasama dengan awak KPU, untuk memasukkan kalian sebagai orang yang berhak untuk ikut memilih. Kalian juga manusia, bukan hewan. Dan karena itu punya hak, Hak Azasi Manusia (HAM). Kalian ikut saya sekarang ke rumah saya,”
“Baiklah bapak. Tapi pa bapak tidak malu membawa kami ke rumah bapak dengan kondisi tubuh, pakaian yang amburadul ini?” ujar salah seorang dari mereka.
“Kalian akan saya mandikan. Dan pakaian kalian akan saya ganti. Yang pasti, perintah saya ikuti agar sampai dengan Pileg nanti, jangan bikin onar, dan siapa pun yang menemui kalian wajib senyum, dan teriakkan nama saya Caleg No.13  ‘Billok Yes!’! Dan jangan sekali-kalinya memberitahukan, kalian gila.”
“Baiklah bapak. Semoga bapak menang. Tapi kalau bapak kalah? Bagaimana nasib kami?”
Doo, tanda do nagila ho—Kelihatan kau orang gila, pertanyaanmu rasanya tidak perlu saya jawab. Tapi tak apalah kujawab. Begini. Kalau saya kalah, saya pasti gila. Itu artinya, teman kalian bertambah 1 lagi. Dan saya jamin, kalau saya kalah, gila atau tidak, saya harus meng-gila-kan diri—Hupajajo-jajo  pe annon,” kata pria gagah ini.
“Kurang jelas Bapak, apa maksudnya?”
“ Dasar gila. Tentu saja kau tidak mengerti maksud saya. Kalau saya kalah, bagaimana saya membayar hutang yang sudah menumpuk? Meng-gila-kan diri hanya cara, agar debt collector tidak datang lagi menagih. Sudahlah ayo, ikut aku!” ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar