Hak Azasi Orang Gila
Tujuh orang gila berdiskusi seru
di sebuah pantai terkenal di Samosir. Angin sepoi mampu menenangkan pikiran
mereka yang gundah.
Sehari sebelumnya, mereka hampir
sepakat untuk mendatangi Dinas Kependudukan, untuk menanyakan hak mereka sebagai
Warga Negara, meskipun mereka sadar bahwa mereka gila, dan karena gila sangat
tahu diri, tidak ikut serta meminta
proyek apapun kepada Pemkab. Mereka sadar, kalau mereka mencoba melakukannya,
pasti akan diusir dan dibentak-bentak, bahkan mungkin akan diborgol, karena
bisa-bisanya meminta proyek, padahal
gila.
Diskusi sedikit agak terkendala,
karena tidak seorang pun bisa menjelaskan, dari mana asal-usul mereka, apakah
dari Tapanuli Utara, Humbahas, Tobasa, Dairi, Karo, Simelungun atau Samosir,
karena mereka bisa bersua di Pantai itu lebih karena tuntunan Naluri, dan bukan
karena melihat peta, atau otak. Yang pasti, dari tuturan ke 7 orang itu, mereka
bukan berasal dari satu daerah, karena satu sama lain tidak saling mengenal,
dan mereka pastikan, tidak sedang membentuk Komunitas Orang Gila (KOG).
Saat perdebatan masuk pada bagian,
Apakah orang gila di negeri ini masuk dalam statistic kependudukan, dan apakah
berhak mendapat KTP dan selanjutnya bisa ikut memilih di Pileg April 2014,
tiba-tiba seorang pria gagah, berkulit putih, menyapa mereka. “Hallo semuanya, apa
kabar?”
Disapa manis seperti itu, serempak
mereka menyambut, “Hallo Bapa.”
“Sudahlah, kalian tidak usah
khawatir. Kelak saya akan sama dengan kalian, jika kalah dalam Pileg April ini.
Soalnya, semua modal untuk membeli suara 1500 orang x Rp 300.000 adalah hasil pinjaman. Berbunga
pulak. Karena itu, kalian harus membantu saya. Kalau menang, yang pertama saya
bangun adalah Rumah Singgah Orang Gila (RSOG). Rumah ini akan berfungsi tempat
isterahat orang gila sambil dilakukan perawatan, sampai tidak gila lagi,” ujar
pria gagah ini.
“ Maksud bapak?” Tanya salah
seorang dari mereka.
“ Yah, saya coba nanti bekerja
sama dengan Dinas Kependudukan, dengan cara ‘menembak’ tentunya, lalu akan kerjasama
dengan awak KPU, untuk memasukkan kalian sebagai orang yang berhak untuk ikut
memilih. Kalian juga manusia, bukan hewan. Dan karena itu punya hak, Hak Azasi
Manusia (HAM). Kalian ikut saya sekarang ke rumah saya,”
“Baiklah bapak. Tapi pa bapak
tidak malu membawa kami ke rumah bapak dengan kondisi tubuh, pakaian yang
amburadul ini?” ujar salah seorang dari mereka.
“Kalian akan saya mandikan. Dan
pakaian kalian akan saya ganti. Yang pasti, perintah saya ikuti agar sampai
dengan Pileg nanti, jangan bikin onar, dan siapa pun yang menemui kalian wajib
senyum, dan teriakkan nama saya Caleg No.13 ‘Billok Yes!’! Dan jangan sekali-kalinya memberitahukan,
kalian gila.”
“Baiklah bapak. Semoga bapak
menang. Tapi kalau bapak kalah? Bagaimana nasib kami?”
“ Doo, tanda do nagila ho—Kelihatan kau orang gila, pertanyaanmu rasanya
tidak perlu saya jawab. Tapi tak apalah kujawab. Begini. Kalau saya kalah, saya
pasti gila. Itu artinya, teman kalian bertambah 1 lagi. Dan saya jamin, kalau
saya kalah, gila atau tidak, saya harus meng-gila-kan diri—Hupajajo-jajo pe annon,”
kata pria gagah ini.
“Kurang jelas Bapak, apa
maksudnya?”
“ Dasar gila. Tentu saja kau tidak
mengerti maksud saya. Kalau saya kalah, bagaimana saya membayar hutang yang
sudah menumpuk? Meng-gila-kan diri hanya cara, agar debt collector tidak datang
lagi menagih. Sudahlah ayo, ikut aku!” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar