Kamis, 24 April 2014

Orang Gila dan JK

ORANG GILA DAN JESUS KRISTUS

Di seberang jalan sana, di depan sebuah toko, terkapar seorang lelaki tua, yang tubuhnya kurus dan dibalut pakaian kumal dan celana panjang yang sudah pendek. Salah satu kakinya, terluka dan berdarah, yang kemudian membasahi kakinya yang sebelah.

Banyak yang melihat, tapi tak seorang pun peduli. Karena pemandangan semacam itu, bukanlah hal istimewa di Kota Depok, kota yang manempel dengan Ibukota, dihuni oleh Universitas ternama, dan penduduknya dikenal cukup religious.

Sudah berjam-jam lelaki tua itu di sana, mengerang kesakitan karena kaki yang terluka, atau mungkin juga mengerang karena menahan lapar dan haus. Hujan yang turun deras dan angin kencang, barangkali saja menambah penderitaan lelaki tua itu yang ternyata, menurut seorang tukang parkir yang sehari-hari beraksi di depan minimarket, memberitahu, bahwa dia adalah salah seorang dari “orang gila” yang berkeliaran di Depok, sekitar Depok Timur.

Malam bertumbuh gelap. Tak jua ada seorang pun yang peduli. Mereka yang mampir dan pergi dari Rumah makan tenda di samping, mulai yang pejalan kaki, naik motor, dan yang bermobil, jangankan memberi makanan, melirik saja, mungkin merasa jijik…

Dari seberang sana, pria yang sudah memutih rambutnya, terus menatap orang gila itu. Hatinya pedih dan ingin menolong. Tapi ada ketakutan. Isterinya pun melarang, karena alasan yang sama, takut!

“Kamu jangan ke sana. Kalau kau diapa-apakan, nanti kami bagaimana? Dia toh orang gila. Mengapa pulak itu harus kau urusin?” Tolaknya, ketika pria itu hampir menyeberang.

“Lho, bukankah manusia yang kemudian menjadi gila itu juga ciptaan Tuhan?”

“Lomomma. Ise boi mangalusi hatam!”

Waktu terus berjalan. Hujan masih juga turun, kendati tidak sederas sore tadi. Hati pria itu terus galau, antara mengiyakan anjuran isterinya atau menolong. Pikirannya berkecamuk. Hampir remuk, tapi pikirannya terus bekerja, dan hatinya bersuara : “Jangan-jangan Jesus Kristus sedang menyamar jadi orang gila. Kalau aku lewatkan tidak menolong, atau tidak memberikan dia makan dan minum, bukankah Jesus kelak akan menamparku?” begitu pikirnya.

Akhirnya pria itu memanggil penjual makanan dan minuman di sampingnya. “Bang, tolong berikan makanan dan minuman yang paling enak yang kamu jual. Saya yang membayar!”

Pedagang itu bergegas mengerjakannya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, sudah terbungkus, nasi, ayam goreng, sambal dan lalapan, serta segelas teh manis panas dan diberikan kepada orang gila tersebut.

Melihat itu, si orang gila langsung duduk dengan upaya keras, dengan memegangi salah satu kakinya yang masih merah berbalut darah kering. Dia senyum. Dan kemudian melahap makanan itu sampai ludes.

Dari seberang, pria itu memandang, dan pipinya basah oleh air yang keluar dari matanya. Dia merenungi, “Andaikata itu saudaraku! Atau andai benar bahwa dia itu adalah Jesus Kristus yang menyamar jadi orang gila…!” Dalam renungannya, dia lalu memutuskan, di hari ulang tahun anaknya 25 Aparil 2014, dia membatalkan niatnya untuk merayakan HUT ke 5 putra kesayangannya dengan pesta sebagaimana lazim yang dilakukannya setiap tahun, tapi akan mengirim makanan dan minuman ke orang-orang gila di seputar Depok (termasuk yang gila karena gagal jadi Caleg).

Usai membayar makanan dan minuman si orang gila ke si pedangang, dia malangkah masuk ke rumah, dan memeluk putra-putri kecilnya, juga ibu anak-anaknya dengan membisikkan suara yang tidak mampu didengar oleh telinga, “Anakku, aku belum mampu seperti Mother Theresia. Aku masih pengecut!".
***

Minggu, 06 April 2014

Marah

M A R A H
Marah? Silahkan saja. Silahkan marah se-marah-marahnya, kalau hal itu memang membuatmu menjadi lebih baik. Atau membuat penyakitmu sembuh. Atau menjadikan tubuhmu awet muda! Atau jika dengan marah dirimu bisa kaya raya? Silahkan saja! Egepelah! (emang gue pikirin)?.

Tetapi, hehe he, seperti keyakinan orang banyak, ini universal sifatnya, sangat tidak mungkin seseorang sembuh penyakitnya, menjadi awet muda, atau akan menjadi kaya raya, jika suka marah–marah.

Semua juga orang tau, seorang yg suka marah-marah, pasti kelak akan menjadi PEMARAH. Seorang yg suka marah-marah akan lebih mudah diterjang penyakit yg beraneka ragam, antara lain: darah tinggi, jantung, sesak nafas. Dan yg pasti, kulit di sebidang wajah akan mengerut, dan akan terlihat jauh lebih tua dari usianya. Yg paling parah, seorang pemarah akan dihindari orang untuk menjadi rekan kerja dalam hal apa pun, terutama dalam berbisnis, kecuali terpaksa.

Jelas, jika orang lain tidak mau bekerjasama dengan kita karena dianggap sebagai seorang pemarah, bukankah peluang untuk berbisnis akan tertutup? Apa yg terjadi kemudian, kalau bukan bangkrut?
Secara umum, siapa pun dia, pasti lebih menginginkan situasi nyaman, kapan dan di mana pun. Secara apriori, dapat dipastikan, tidak banyak orang yg merasa nyaman bila berdekatan dengan seorang yg hobbynya marah-marah. Kalaupun ada, mungkin saja karena terpaksa.

Memang, tidak mungkin kita terhindar dari perbuatan marah ini. Namanya juga manusia. Manusia menjadi sempurna, jika pernah marah. Jangankan manusia biasa, manusia yg kemudian “naik pangkat” menjadi Nabi pun, pernah marah. Periksalah sejarah para Nabi. Musa misalnya, seperti dikisahkan di Bilangan 16 ayat 15 : “Musa marah sekali dan berkata kepada TUHAN, ‘TUHAN, janganlah menerima persembahan mereka. Tak pernah saya merugikan seorang pun dari mereka; bahkan seekor keledai pun tak pernah saya ambil dari mereka."

Marah bukanlah dosa. Itu hanya soal penyampaian atau cara dalam berkomunikasi. Tetapi jika marah pada waktu dan tidak pada tempatnya, tanpa latar dan tujuan yg jelas, pastilah sikap dan tindakan yg keliru. Bahkan ada yg secara ekstrim mengatakan, hal tersebut adalah bentuk lain dari kesombongan. Mengapa? Karena bila seseorang marah, pada dasarnya dia sudah menunjukkan superioritasnya, bahwa dia :
lebih kuat,
lebih pintar,
lebih berkuasa
lebih berbuat
lebih peduli—
daripada orang yg dimarahi. Padahal dengan dia marah atau bersikap seperti itu, belum tentu misinya tercapai. Mengapa? Karena yg dimarahi, mungkin saja tidak menerima, atau sebenarnya ingin melawan atau tidak melakukan apa pun yg dikehendaki oleh yg marah.

Ada juga yg mengatakan, seseorang yg tabiatnya marah, menunjukkan, bhw tingkat intelektualnya sangat rendah. Bukankah komunikator yg baik ialah yg selalu beriorientasi kepada komunikan—lawan bicara? Artinya, dia akan memilih cara seperti apa menyampaikan isi pernyataan, agar komunikan memberikan umpan balik.

Nah, seorang yg suka marah, pasti bukan seorang yg intelek. Pengetahuannya pastilah sangat rendah. Orang seperti ini biasanya, selalu merasa lebih pintar daripada orang lain dan sulit berbeda pendapat, serta akan memonopoli, bahwa sumber kebenaran hanyalah dirinya.

Ciri-ciri lain dari seorang Pemarah, biasanya dia miskin simpati, sulit berempati, dan dari mulutnya sulit keluar kata-kata pujian, sulit senyum, sulit tertawa, kulit sebidang wajahnya lebih sering mengkerut, cenderung menjaga citra, gengsi tinggi, serta menempatkan “harga diri” di atas segalanya.
MARAH dalam bahasa pollung tubu adalah HARAM. Kok, bisa? Namanya juga pollung tubu atau perkataan yg timbul secara tiba-tiba. Bacalah H A R A M dari kiri ke kanan. Jadi haram, khan?
Wakakak. Saya sengaja tertawa ngakak, untuk menunjukkan, kendati saya pernah marah, tapi tidak punya hobby marah. Dan sudah barang tentu, bukanlah seorang pemarah. Kalau saya pemarah, tidak mungkinlah mampu marrengrengge dengan baik. Buktinya, saat ini saya memilih buka kedai kopitTA yg menjual juga hassangTA, kombanglayang dan yg terkini pancake durian. Kata orang Tionghoa, “ Jangan buka kedai, kalau tidak murah senyum”. Paskan barang itu?

Sekedar informasi, maaf, GeEr dikit, nih, senyumku mampu menaklukkan hati seorang wanita, yg menurut pengakuannya, akan dibawanya sampai ke liang lahat sebagai hadiah yg akan terus dijaganya di Surga, sampai kami bertemu di sana. Hehe he.

Tambahan lagi, sebagai bukti bahwa saya bukan pemarah, saat merampungkan tulisan ini, bibir sedang senyam-senyum menikmati informasi dari Samosir tentang naiknya “HARGA SUARA” untuk Pileg 9 April 2014 ini. Konon, ada yg berani bayar hingga Rp 500.000/suara. Wakakak.
***