Jumat, 27 Juni 2014

PANGOROMON bagian pertama

PANGOROMON *)
(bagian pertama)
***
Meski Chris Jhon mengaku, bukan karena dia kalah dari Simpiwe Vetyeke, 6 Desember 2013 lalu memutuskan untuk menggantung sarung tinju. Tetapi tetaplah tidak terpungkiri, dia mengundurkan diri dari ring tinju setelah kalah,  dan bukan meninggalkan ring tinju  ketika sabuk juara masih melingkar di pinggangnya. Ini berbeda dengan pesepak bola kesohor asal Perancis yang bermain di Manchester United (MU), Eric Cantona, yang memilih pensiun pada saat dia masih produktif mencetak gol, dan  ketika itu fansnya di MU masih mendambakannya untuk terus menggocek si kulit bundar dan menjebloskannya ke gawang lawan.

Sejarah mencatat penguasa-penguasa negeri, Saddam Husein (Irak), Ceausescu (Rumania), Husni Mubarak (Mesir), yang mati-matian mempertahankan tahtanya agar tetap berkuasa tetapi kenyataannya secara tragis, mereka harus melepaskannya, bahkan salah seorang harus menjalaninya di tiang gantungan.
Laut punya tepi. Gunung punya puncak. Semua yang ada punya ukuran dan batasan. Maka apa pun yang ada  selalu ada satuan hitungannya,  termasuk di antaranya perut,  yang jika terlalu banyak asupan makanan atau minuman pasti akan kembung dan  meminta untuk dimuntahkan.

Ketika seseorang bertanya kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz, tentang bagaimana seharusnya atau yang terbaik untuk makan, dia menjawab: “Makan selagi lapar. Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.”

Apa artinya? Saya mencoba menyimak jawaban itu dari sudut sempit, yaitu tentang cara menikmati makanan. Pengalaman membuktikan, ketika perut lagi lapar dan di saat itu kita penuhi, maka biasanya, apa pun yang kita makan, yang “ halal” tentunya “pasti” terasa enak. Bahkan hanya nasi dan kecap asin Medan saja sebagai lauk pasti nikmat dan membuat pikiran menjadi tenang. Saya ingat kata-kata bijak dari Leluhur, “ Otak ada di kepala, tapi sumber ketenangan otak ada di perut.” Bandingkanlah apabila anda disuguhi makanan steak, pizza, kambing panggang, sop buntut,  atau makanan lainnya di kala perut anda sedang kenyang…

Selanjutya, mengapa harus berhenti sebelum kenyang? Ini dia. Uraian di atas,  sebutlah ini semacam kesimpulan, bahwa apa pun yang kita masukkan ke mulut saat perut sudah kenyang, maka nilai nikmatnya sudah menurun dan barangkali juga tubuh kita tidak lagi membutuhkannya, pun jangan–jangan akan menimbulkan penyakit, jika terus dipaksakan masuk. Yah,  Itu tadi, semua sudah ada ukurannya. Bayangkan jika botol dengan kapasitas 100 cc dimasukkan air 120 cc, pastilah akan luber.

Kembali ke masalah perut. Apa yang kita masukkan ke perut bisa jadi berhubungan dengan selera. Selera terpicu tentunya berkaitan dengan pikiran. Seorang yang sedang koma, pasti tidak selera makan. Maka ini maka, kita harus ada usaha menata pikiran untuk menghasilkan sebuah tindakan : PANGOROMON, sehingga apa pun yang tersaji atau dihidangkan di depan kita,  pikiran akan memerintah, tidak dan tak akan menyentuh makanan itu,  apalagi memakannya. Dengan cara seperti ini, begitulah pedapat orang yang sudah melakukannya, tubuh kita tidak akan gemuk atau kegemukan.


Benar atau tidak, seseorang dengan tubuh yang terlalu gemuk rentan terhadap penyakit. Seorang kawan,  secara beseloroh mengatakan,  ciri-ciri seorang yang egois atau sangat egois terlihat dari tubuhya yang kegemukan. Karena biasanya orang yang gemuk atau kegemukan terjadi karena porsi makanan yang disantapnya melebihi  takaran yang dibutuhkan tubuhnya serta yang seringkali melahap atau  menghabiskan makanan yang bukan jatahnya. Wakakak.
----
* PENGENDALIAN DIRI

Rabu, 18 Juni 2014

Obor

O B O R
Di masa kecil saya di Kampung kelahiran saya Pangururan, Samosir, menjelang Natal, ada suatu acara di maLam hari “Marobor-obor”. ini ketika Listrik belum ada dan alat penerangan paling canggih di rumah penduduk MASIH  lampu Petromak atau disebut orang lampu gas.
Acara marobor-obor ini, biasanya dipandu oleh guru sekolah minggu yang startNYA  dari halaman sekolah atau dari halaman gereja, mirip sebuah pawai, karena anak-anak biasanya mengenakan pakaian  bebas yang berwarna-warni  dan setiap orang membawa obornya masing-masing.
Obor ini terbuat dari batang bambu  yang diberi sumbu dan bahan bakarnya minyak tanah.  Setelah sumbu obor dinyalakan, dan anak-anak dibuat berbaris, maka perjalanan dimulai menyusur jalan-jalan yang ditentukan. Tentu saja jalanan  menjadi terang-benderang berkat cahaya dari OBOR. Belakangan Obor yang terbuat dari bamboo tergantikan dengan kehadiran lilin.
Sambil berjalan dengan gerakan seperti baris-berbaris, sepanjang jalan peserta tidak henti menyanyikan berbagai ende—lagu,  utamanya yang berkaitan dengan Natal. Salah satu lagu yang penggalannya masih saya ingat…
(…obor obor,
Obor obor
Marhillong –hillong lilin i
Manamu-nomu raja i…
Obor obor)

 Pada saat itu Obor dinyalakan adalah untuk menerangi kegelapan, sehingga mata bisa melihat ke depan sehingga kaki tidak terantuk-antuk.
***
William Shakespeare, penulis cerita Macbeth dengan nada bertanya, “What’s in the name?”—Apa yang tersirat di dalam nama?
 Nama tentu mencerminkan sesuatu. Misalnya oleh ayah saya almarhum, saya diberi nama Laris. Menurut dia, agar apa pun yang saya jual agar laku atau laris. Kenyataanya memang demikian, karena pancake durian asal MEDAN, yang kemudian diberi merk Obama Pancake,  saat ini tergolong laris manis, karena, bahkan seorang Jansen Sinamo, Sang Guru Ethos yang motivator Nasional itu telah pula memesannya. Weh. Karena itu, tentulah hati saya menjadi miris dan menggugat, mengapa  juga OBOR yang terbit dan beredar saat ini, tidak mencerminkan isi seperti  namanya. Bukankah seharusnya media cetak ini, akan menerangi pikiran dan kemudian menyejuki hati setiap insan yang membacanya?  Kalau kemudian, seperti yang dilansir berbagai media elektoronik, di mana setelah masyarakat membaca terbentuk dua kubu yang saling mengejek dan bahkan mengarah kepada “Peperangan.”

Saya amat menyadari, untuk membangun Opini agar jagoan kita naik elektabilitasnya, dan kelak kalau menang bisa membusungkan dada sebagai orang yang berjasa, apa pun  harus dilakukan. Tetapi, sangat disayangkan, jika hanya untuk tujuan itu, kita harus melakukan Black Campaign dan seperti dimuat di KOMPAS hari ini, ada 3 Ketentuan Undang-Undang yang mungkin sudah dilanggar oleh OBOR :
1.      UU No.40 tentang Pers,
2.      UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden
3.      KUHP (310, 311, 315).
Padahal sesungguhnya seorang yang mengaku INTELEK tentulah harus menggunakan akalnya, karena fungsi akal adalah membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu, Karena kita juga tahu tentang ETIKA, yaitu Pola bersikap tindak, baik interpersonal maupun antarpersonal, pasti bisa membantu kita untuk lebih BIJAK untuk mengekspos sesuatu.
***

Catatan Penulsis : (Siapa pun yang menjadi Presiden tidak menjadi masalah, karena pastilah tujuannya untuk mencerdaskan manusia INDONESIA, termasuk saya yang masih bego, karena seringkali  ASBUN).

Senin, 09 Juni 2014

TANGIANG ADLIPS

Memang cerita ini sudah dalwarsa, usang, dan tidak mungkin lagi membuat kita tertawa. Tapi, karena masih membekas di benak, tetap saja saya tuliskan dan share kepada anda. Terserah mau bilang apa, karena tulisan ini tidak sedang menceritakan siapa atau mengejek siapa, tapi hanya sekedar perenungan bagi saya. Jadi, jika anda tertawa dan tidak marah, berarti paslah tulisan ini untuk anda. Jika anda marah dan merasa tersinggung, ini BUKAN UNTUK ANDA. Ingatlah pesan Nenek moyang kita, “Dang ditopot aek na soboruran.”

Kejadiannya kemarin di tempat arisan.

Sebetulnya saya sudah malas datang ke acara seperti ini. Membosankan. Karena acaranya begitu-begitu aja. Tidak inspiratif, dan cenderung “menambah dosa.” Jangan terus marah, karena ini hanya pendapat subjektif saya.

Soalnya  tiap arisan, selalu dibuka dengan “Partangiangan”.  Buka dengan doa, bernyanyi, dan membacakan ayat-ayat. Kadang di situasi itu pula banyak orang “pamer” pengetahuan tentang isi Kitab Suci. Padahal saya sudah bolak-balik memrotes, bahwa Arisan adalah tempat berkumpul KELUARGA, karena pertautan marga dan darah. Sebutlah yang se-darah. Jadi pertemuan bukan karena se-AGAMA.

Dan itulah soalnya, saya malas hadir di Arisan. Tapi kemarin ½ dipaksa Inang ni dakdanahi, saya hadir. Ini demi KEUTUHAN Rumah Tangga. Soalnya, kami tinggal di lantai 2, dan tiap hari harus naik tangga. Jadi agar Rumah tangga utuh, sesekali mengalah, walau akibatnya selalu  perang mulut seusai arisan.

Begitu juga dengan kemarin, nongol lagi sikap isengku. Iseng aja, karena bagi saya doa itu bukan iklan untuk sesama. Menurutku, ah, kita tidak usah sebut pun, Tuhan pasti tahu apa yang ada di pikiran kita.  Sedangkan Pargocci di Samosir bisa “ sok tahu.” Dengarlah pinta-pinta( pitta-pitta) ini…
(Amang pargocci,
Sitili-tili ma ninna sitolo-tolo
Naung so hudok, nunga diboto ho….)

Nah kemarin itu, seperti biasa,  Tuan rumah memimpin doa terkahir. Ini meruapakan sandi, usai berdoa siapa pun tamu bisa pulang. Begini doanya.

“ ….(di edit) Engkau tahu Tuhan, kami selalu rindu akan jamahan tanganmu, maka jamalah segala sesuatunya. Urapi kami semua. Selain itu, secara khusus kuminta padamu, berilah kesehatan kepada anakku yang lagi study di Jerman, putraku dan mantuku yang sedang berwisata rohani  ke Jerusalem. Tak ketinggalan Tuhan, cucuku yang baru dilantik jadi Komisaris Polisi dan sedang bertugas jauh di Sumatera sana. Juga Tuhan, kumohon padamu, sebentar lagi, putri bungsu kami yang akan berangkat ke Inggeris dan kuliah di sana… sertai dia selama di sana Tuhan. Di samping itu dari segala kerendahan hati kami meminta pada kami Tuhan, berkatilah segala usaha kami, khususnya  Pertambangan Batubara yang  di Kalimantan yang sedang dalam proses pembangunan akhir, yang jika berjalan normal akan berproduksi mulai Agustus 2014 ini Tuhan…dst.

(tiba-tiba…Aku nyeletuk. “Masih lama tidak sih doanya? Kayaknya terlalu panjang, dan tidak perlu deh disampaikan semua…!—Tapi  aku tetap dalam sikap mengikuti doa dengan mata terpejam.

Sesaat kemudian,  apakah karena saya menyeletuk, saya tidak tahu, tetapi yang pimpin doa langsung bilang, “Amen.”

Keadaan memang menjadi tidak kondusif. Semua diam. Inanta pardijabu bohina songon harimau ma mamereng au. Tapi aku tidak peduli. Sepanjang jalan, dan hingga sore ini dia tidak mau bissara kepada saya. Kemarin sempat dia bilang, “ Ho mambaen mate do pargaulan…Gabe sisogo di iba di sude inganan.”

Aku diam. Tapi dalam hati aku bergumam, “Doa kok kayak iklan!”—Dipessat pe taho gabe anggota.
***





JUDI DAN SIKAP KAPOLRES


Anggota DPRD bermain judi di Kantor DPRD. Itu terjadi di Kabupaten Samosir. Saya ulangi, 4 Anggota DPRD, tertangkap sedang bermain judi di Kantor DPRD, tapi hingga kini belum ditahan, ntah karena apa. Apakah karena mereka anggota Dewan?

Sebagai orang awam, yang tidak tahu persis prosedur penahanan, maksud saya, apakah mereka yang tertangkap oleh Polisi karena main judi bisa berkeliaran di luar? Karena faktanya, beberapa kali saya saksikan di Jakarta, mereka yang tertangkap main judi pasti langsung digiring ke kantor Polisi dan tidak dilepaskan sampai Hakim memutuskan hukuman, dan baru setelah selesai menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakan bisa “berkeliaran” di tempat umum. Tidak tahu kalau KAPOLRES Samosir, memberi Priveledge kepada ke 4 Anggota Dewan ini, karena salah seorang diantaranya adalah adik Kandung orang No.1 di Kabupaten Samosir.

Dalam hal ini, tentu akan ada yang membela, dengan mengatakan, bahwa Anggota DPRD juga manusia, yang bisa berbuat khilaf. Bisa juga ke-4 orang ini mengatakan, bahwa mereka sedang stress, sehingga perlu hiburan dengan cara bermain kartu—mereka akan berdalih BUKAN SEDANG BERJUDI seperti yang tertera dalam pasal 303 KUHP tapi lagi atau hanya sekedar killing time.

Apapun pendapat yang membela, adalah sah. Okelah, bahwa ke 4-nya adalah manusia—bukan hewan—dan yang bisa saja berbuat khilaf, karena SETIAP MANUSIA bisa khilaf siapa pun dia.  Itulah soalnya, khilafnya ini keterlaluan. Kok bisa berjam-jam main kartu dengan  menggunakan gedung DPRD, mejanya, kursinya dan listriknya—serta, ini berarti,  mereka tidak mengerjakan tugasnya sebagai Anggota Dewan, tetapi harus digaji pulak. Hebat, berjudi digaji Pemerintah. Wakakak. Bisa diusulkan masuk MURI, nih!
DPRD adalah akronim dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, artinya mereka ini dipilih untuk mewakili rakyat—Rakyat Samosir, tetapi bukan untuk mewakili main judi tentunya. Sejak dulu,  judi sudah diharamkan oleh Pemerintah, bahkan di jaman Soetanto menjadi Kapolri, harus dibumihanguskan dari bumi Indonesia, dengan berbagai alasan, termasuk di Samosir misalnya,  banyak orangtua yang  menghabiskan waktunya di meja judi, sementara isteri dan anaknya harus menahan lapar karena “dang adong hepeng—tidak ada uang untuk membeli beras. Bahkan yang paling menyakitkan, banyak orang tua di Samosir lebih mengutamakan modal judi daripada membayar uang sekolah anak.










*** 
Catatan
Equality before the law. 
Jangan gunakan standar ganda pak Polisi.








SULITNYA BERSTATUS SIAMANG


Pengalaman berjualan pancake durian ini membuat hidup menjadi bergairah. Kecuali hati yang senang dan nyaman dan sudah barang tentu tanpa rasa takut, karena tidak mungkin  akan ada orang KPK yang secara diam-diam menyelusup untuk memata-matai kegiatan.
Kemarin, datanglah telepon dari podusennya dari Medan. Halak hita yang selama itni kupanggil  Ito, kendati sebenarnya suaminya, masih bisa kupanggil Tulang, karena beberapa Inangtuaku  dan Inangudaku  semarga dengan suaminya.
“Ito, besok pancake melalui Cargo Garuda, akan tiba di Jakarta, kira-kira pukul 10.00. Dan kalau jalan tidak macet, pancakenya sudah bisa diterima di Depok sekitar antara pukul 12.00-13.00,” ujar si Ito ini dengan serius. “Tunggu aja Ito. Maaf, mungkin jadi terganggu sedikit, karena kiriman jatuh pada hari Minggu. Maaf, iyah Ito…,” tambahnya.
“ Tidak apapa. Saya biasa bekerja total pada hari Minggu. Karena pembeli pun lebih banyak yang  hari Minggu dibanding hari biasa,” jawabku.
“Memang ito tidak ke Gereja kalau hari Minggu? “ tanyanya dengan nada selidik.
“Ah, saya setiap detik ke Gereja Ito. Kalau sekali seminggu terlalu lama. Saya pengagum dan pemuja Tuhan. Karena itu, maka setiap detik saya menjumpainya di Bait Allah,” ujarku lagi. “Tapi, haha ha, nantilah kita bissara tentang itu  kalau ito dan Lae jadi datang di Jakarta,” tambahku.
“ Sebentar lagi akan saya sms no Hp SIAMANG yang mengantar ke sana Ito. Soalnya yang mengirim sebelumnya tidak bisa. Kata dia,  di rumahnya sedang arisan. Jadi, aku minta tolong pada SIAMANG, untuk mengambil dari Bandara dan mengantar langsung ke Depok. Kalau SIAMANG  itu menelpon tolong HPnya diangkat iyah Ito!” pintanya.
“SIAMANG?” tanyaku terkejut. Soalnya baru sehari sebelumnya saya menonton film Tarsan di Global TV, yang pemerannya ada juga SIAMANG.
“Ya, Ito. SIAMANG juga sudah mengOke khan, dan tidak ada masalah,” jelasnya.
“Janganlah ito. Apa tidak ada manusia yang bisa ito cari untuk mengantar, mengapa harus SIAMANG?” tanyaku lagi, dengan nada serius. “Lagi pula, aku takut, takut sekali dekat dengan SIAMANG. Dari dulu  aku takut!  karena Tahun 1970 pernah kubaca di SIB, ada SIAMANG perempuan yang menyandera pria selama bertahun-tahun di hutan, dan kemudian dijadikannya  ‘suami’ hingga SIAMANG perempuan iitu melahirkan,” kataku menambahkan.
“Ah ito ini, bercandanya selalu….Itu haha dolikku. Kami tiga bersaudara. Hahadolikku inilah siakkangan. Ito pasti tau, sebagai anggi boru,  saya memanggilnya AMANG. Dan tentu untuk menunjuk pada dirinya kutambahlah SI, jadi SIAMANG lah, aku memanggilnya!” jawabnya yang diikuti dengan tawanya. Tergelak-gelak dia.
“ Oh, itunya? Jadi maksud ito bukan bodat nabalga—Monyet besar? Ah, maafkanlah aku ito. Yah, aku terima pun  kalau dia menelpon. Tapi tolong bilang sama SIAMANG, unang sampe di garomak au?!” Pintaku sedikit serius.
Dari seberang sana, ito itu tertawa ngakak. Saya pun ngakak. Kami sungguh-sungguh ngakak tanpa beban. Biarlah urusan Capres urusan para Tim Sukses.
***
(Selamat hari Minggu untuk teman-teman.)