Sabtu, 06 September 2014


Asing Tangiang, Beda Pangalaho

Dung sae mangan, makkatai ma bendahara, paboahon na adong anggotai nunga 6 bln dang mangalehon toktok ripe, yuran hata ion. Molo bendahara i mandok, ala dang karejo be amanta dolina jala inanta tukang dappol nama saonari.

Mambege i tor tindang ma na mamilang tangiang mangan nangkin. Bohina murhing songon halak na mangodon tingki miting ala karas te na. Ninna ma. "Ta paharuar ma i sian punguan on. Molo adong hak ikhon ulahonon do kewajiban. Ba molo yuran pe dang dilehon, paganjang ganjang daftar i di bukku." 

Mambege i, nenget ma au mangissir. Di bagas rohakku adong ma na holip. "Ia tangiang ni amantai nangkin dipangidohon do, 'pargogoi ma hami mangulahon aha lomo ni Roham'. Hape holan ala ni yuran pola marrimas."
***

Doa

S e l i n g a n

Doa...

" Tuhan ampunilah suamiku yang selalu memanjakanku. Karena ulahnya yang teramat sayang padaku hingga menggoreng telor pun aku tak tahu. Tadi pagi kucoba melakukannya, tapi hasilnya gosong dan rasanya lebih asin daripada ikan asin kapala batu dari Pematang Siantar." Amin.
***

zero itu nol



ZERO ITU NOL

Tidak masalah jika anda bersikukuh mengatakan ½ gelas berisi, atau ½ gelas kosong. Toh, jika air yang di dalam gelas itu dituang ke perut melalui mulut tetap saja jumlahnya sama; apakah itu ½ gelas kosong, atau ½ gelas berisi. Tapi bila keinginan anda agar terlihat dan dipandang sebagai seorang yang berpikir maju dan positif serta biar agak tampak lebih intelektual, maka tidak ada juga yang melarang anda untuk bersikukuh menggunakan terminologi ½ gelas berisi.

Kalau zero sama dengan nol, sudah pasti yang nol itu adalah kosong. Kosong berarti hampa. Tidak ada apa-apa. Beruntung saya diingatkan Masrina Juwita Gultom, agar tidak angggap enteng terhadap angka 0(Nol). Tanpa Nol uang rupiah Indonesia tidak akan  berarti sama sekali. Dia juga menyebutkan, gelas yang kosong itu, pastilah berisi. Kalau pun ada yang menyebut itu kosong, lebih karena di dalamnya tidak ada benda cair. Artinya, penyebutan itu hanya karena melihat dari sisi fungsi gelas yang bisasanya digunakan sebagai wadah mengisi air mineral, teh, kopi, anggur atau tuak. Pokoknya benda cairlah.

Meski masih bisa ‘dipertentangkan’, apakah Zero itu Nol, tapi dalam ilmu Aljabar yang pernah diajarkan guru saya, bilangan apa pun yang dikalikan dengan 0 maka hasilnya adalah 0 (Nol). 9 milyar uang yang dikorupsi dengan alasan untuk menambah biaya operasional jika dikalikan 0 (9.000.000.000 x 0 = 0) hasilnya pasti NOL. Karena itu, para leluhur kami mengatakan, “Langkitang gabe hapur, Na hinilang gabe mambur.” Atau sama dengan sia-sia. Astaga! Kalau sia-sia juga ujung dari KORUPSI, untuk apa melakukannya?

Hidup adalah kesia-siaan. Begitu kata Penghotbah. Jadi sebenarnya tidak perlu memikirkan hidup ini, karena hidup sama sekali tidak bertujuan. Tetapi yang pasti, karena kehidupan telah diawali dengan kelahiran, mau tidak mau, harus diakhirilah dengan kematian. Paslah pendapat yang mengatakan, “Aku hidup untuk mati. Dan kematian adalah anugrah bagiku.” Coba seseorang tidak mati-mati dan hidup terus…alamak, capeknya! Untuk menjalani 0-70 tahun saja, letihnya luar biasa.
Mati adalah ujung kehidupan. Karena itu, jika ada kematian, seharusnya dirayakan, bukan ditangisi, apalagi disesali. Seperti tersebutkan di atas, tidak seorang pun yang pernah menyandang dirinya sebagai manusia, akan kekal di bumi ini. Apalagi semua orang tahu, manusia bukanlah mahluk bumi, sehingga ketika seorang menghembuskan nafasnya, disebutlah “Dia telah kembali darimana dulu ia datang.”

Yang sudah mati bukan lagi orang. Bukan manusia. Tetapi mantan manusia. Jadi panggilannya adalah mayat, yang kemudian diperhalus dengan sebutan almarhum. Beruntunglah mereka yang sudah jadi mayat, karena tidak lagi bisa iri, dengki, sombong, apalagi korupsi. Saya yakin, seyakin-yainnya, tidak ada satu mayatpun yang bisa melakukan tindakan dosa. Dan memang hingga sekarang,  belum ada tertulis ada sesama mayat saling iri memperebutan lahan atau parbalohan—batas lahan. Ternyata pula, mayat sama sekali tidak mengenal kasta dan karenanya, tidak satu pun mayat yang pernah terlihat angkuh apalagi sombong. Sesombong-sombongnya mayat, akhirnya paling-paling jadi debu. Itu memang sudah disebut oleh para kaum bijak, “dari debu ke debu.” Maka, kalau saja tidak menyalahi hubungan antarpersonal, atau etika yang telah disepakati oleh manusia, sebetulnya, tidak perlu mengurusi mayat! Tidak perlu juga membuat kuburan yang megah-megah. Mayat itu, karena sudah tidak punya pikiran lagi, maka di manapun dia ditaruh tidak ada pengaruhnya bagi si mayat. Hua haha, hanya mahluk berpikir saja yang punya rasa malu dan rasa sombong dst. Kalau begitu, “Biarlah orang mati mengurusi orang mati”  dan marilah kita fokus mengurusi manusia, sehingga selama menjadi manusia, jangan lah hendaknya terus-menerus dilanda kesulitan dan didera ketidaknyamanan. Dan kalau ketidak nyamanan itu salah satunya dipicu oleh kenaikan BBM, yah sudah, urungkan menaikkan harganya. Untuk mengatasi APBN, basmi saja mafia migas, dan kurangi perjalanan para PNS yang sukanya melancong ke Luar Negeri hanya dengan alasan untuk study banding.
***
Salam 3jari.
(dari rumah transisi nomor urut anggota 89)