Jumat, 28 November 2014

Ende Pulut Ni Rohami


Pulut Ni Rohami

Oleh Laris Naibaho
(depok 23.11.04)

Hutadingkhon do sude hasonangan
holan manghohop ho,
dang hupaloas nanggo apala sampiltik hata
na guit ro tuho.

Hape ikhon hubege ma ho
martata mangkuling
mekkel jala marembas di pesta
ni jolma na paleahon au
na mambaen tunduk simalolongki
mandongani ateatekku na madetuk so marhasoan.

Naeng hutimbung lombang na bagas i
Naeng huhaol ronggur dohot sillam
Asa marsada au dohot sude na manghaholongi au
Ai pulut do roham marnida au tariluilu di sihabunian i.

Ref.
On pe, dang taralo au sibaran lapalapa i.
simalolong ni anakku na uli lagu
dohot borukku na uli rupa i ma jambar
siboan hasonangan di au di portibion
tuntun ma lomom, mambaen sonang roham.
***

Minggu, 02 November 2014

Socrates dan Tigor Sitanggang



DIORDIOR

SOCRATES dan TIGOR SITANGGANG*)

Sesaat sebelum Socrates meminum racun yang disiapkannya sendiri yang kemudian merenggut nyawanya, dia mengucapkan kata-kata terakhir : “Criton, aku berutang Asclepios satu ayam, jangan lupa untuk memberikannya”.

Socrates diadili di pengadilan Athena dan dituntut hukuman mati dengan tuduhan,  dia telah meracuni pikiran-pikiran kaum muda dengan ajaran-ajarannya serta ketidak percayaannya pada ketuhanan—dewa-dewa, tetapi sangat yakin, bahwa segala sesuatu kejadian yang terjadi di alam adalah karena adanya “akal yang mengatur ” yang tidak lalai dan tidak tidur. Akal yang mengatur itu adalah Tuhan yang pemurah. Dia bukan benda, hanya wujud yang rohani semata – mata.

Kendati murid-murid—pengikutnya, menganjurkan untuk menghindari hukuman mati,  agar dia melarikan diri dari penjara, yang ketika itu sangat mungkin, atau meminta pengampunan dari Penguasa Athena, Junani saat itu,  dengan menarik kata-katanya. Tapi kedua opsi itu ditolaknya dan tetap keukeuh memilih minum racun sebagai jalan menuju kematian untuk mempertahankan pendapatnya sekaligus membuktikan, dirinya  bukanlah pengecut, serta dia meyakini dirinya mewakili  kebenaran secara objektif. Socrates, membela yang benar dan yang baik,  sebagai nilai obyektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang—“Katakanlah yang benar itu benar, dan masyarakat secara umum, meyakini itu adalah benar.”

Dalam sejarah umat manusia, Socrates merupakan contoh istimewa dan merupakan seorang filosof yang jujur juga berani. Bisa dibayangkan keberaniannya saat itu yang berani melawan Penguasa Athena, termasuk melawan semua cerdik-pandai, yang di dalamnya termasuk para “penjilat “ Penguasa saat itu, yaitu mereka yang  menyelewangkan KEBENARAN agar tetap eksis dan bisa berdampingan dengan Penguasa.

Menurut Socrates, orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Apabila budi adalah TAHU berdasarkan timbangan yang benar, maka jahatnya dari orang yang tidak mengetahui,  karena tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar, sehingga tidak mampu menjalankan kebenaran yang benar.

***

Tigor Sitanggang*) yang sampai sekarang belum kita tahu siapa dan di mana dia berada, memang bukanlah (saya yakini) seorang Filsup seperti Socrates. Tapi dari status-status yang tertera di FB dan photo-photo yang diunggah, pastilah seorang aliran Socrates yang membela kebenaran Objektif dan bukan Kebenaran Relatif, sebagaimana para penjilat Penguasa di Athena, yang bisa memberi defenisi KEBENARAN sesuai versi mereka. Misalnya-angggaplah ini contoh yang aktual--yang terkini : “Membabat hutan, untuk dijadikan kebon singkong, demi memberikan kesejateraan kepada beberapa gelintir-puluh-ratus manusia  adalah benar, kendati kelak akan menimbulkan banjir dan membunuh ribuan manusia, atau menyengsarakan keturunan beberapa generasi kemudian.”

Kita menyaksikan dengan kasat mata pada era sekarang, Kebenaran Relatif itu menjadi sangat POPULER, sehinga dan ternyata tidak hanya yang tidak tahu saja yang sekarang ini jahat, tetapi yang tahu pun bisa lebih jahat daripada yang tidak tahu,  karena mereka bisa memanipulasi dan mencari-cari celah dari apa yang telah dia ketahui. Kenyataanya, justru kejahatan dari orang-orang yang berpengetahuan inilah yang lebih berbahaya saat ini, dan inilah yang dilihat Tigor Sitanggang sebagai sesuatu yang sangat mengerikan dan karena itu harus dilawan, bagaimana pun caranya.

Tanggapan-tangggapan kepada tokoh ini sejujurnya mayoritas mendukung dan memberi hormat, karena semua statusnya, sepertinya berlandaskan data yang akurat, dan tidak ada tendensi untuk kepentingan pribadi, tetapi lebih pada rasa prihatin yang mendalam serta murka melihat tingkahlaku para Pemangku Jabatan di Samosir. Semua yang dilakukannya, secara implisit mengandung kecintaan yang sangat dalam  ke Samosir. Patut diduga, tokoh ini, lahir dan besar serta pernah menjadi karyawan Pemkab, tetapi tersingkir karena tidak ikut arus permainan kelompok yang jahat tadi.

Tulisan ini tidak bermaksud agar tokoh ini ke luar dari “persembunyiannya” dan mengatakan, “ Ini dadaku, mana dadamu?” lalu kemudian secara heroik membuka data yang akurat itu ke masyarakat, melaporkannya ke Kejaksaan atau KPK, walaupun mungkin itu sudah  dilakukan secara “sembunyi-sembunyi.”

Tidak juga menganjurkan agar dia datang ke Kantor Bupati dengan membawa bundelan-bundelannya di tangan kiri dan bensin atau racun  di tangan kanan untuk membela kebenaran ala Socrates, tidak. Sekali lagi tidak. Tetapi, apa pun, tanggapan masyarakat dan yang memberi comment dan curiga, kalau di balik itu semua ada hasrat tersembunyi untuk menggolkan rekannya menjadi Bupati di 2015, tidak juga bisa dinafikan. Tapi kalau saya ditanya, perlukah tokoh ini ke luar dari sarang ? Saya harus mengatakan, karena ini bukan zaman Socrates yang belum ada CCTV, maka tetaplah SEMBUNYI, biar seru dan tetap membuat hati PENASARAN, seperti nyanyian Rhoma Irama, “ Sungguh mati aku masih penasaran...”
***
·         *)Tigor Sitanggang yang dimaksud di sini, adalah Tokoh yang ada di Akun Facebook, dan bukan yang lain.

·         Selamat hari Minggu untuk semua rekan dan keluarga di Samosir dan di luar Samosir.

Sabtu, 01 November 2014

Nahum Situmorang dan Sidharta Gautama

NAHUM SITUMORANG DAN SIDHARTA GAUTAMA
(lembar pertama)

Kita memerlukan kata, KECUALI. Kalau kata ini sampai dicabut dari Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI) dan apalagi dilarang penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, saya yakini akan tercipta ketidakadilan. Ada ungkapan yang sangat terkenal di masyarakat Inggeris, “There is no rule without exception.—Tidak ada hukum tanpa kecuali.”, karena itu dalam tulisan saya di dalam buku MERENUNG DIBALUT SENYUM, yang salah satu berjudul, “MAAFKAN SAYA INANG BAO”, memastikan, bukan  Dosa tak berampun, jika seorang Bao,harus memangku Inangbaonya, jika hal tersebut dilakukan untuk menyelamatkan jiwa manusia dan terhindar dari hukuman Tuhan. Sebab, bukankah Tuhan memerintahkan untuk mengasihi orang lain seperti diri sendiri?

Katanya, tapi apakah ini adalah hasil penelitian dan merupakan sebuah kesimpulan,  bahwa orang Batak di dalam hidupnya  yang sesungguhnya,  tujuannya adalah untuk mengejar 3 H atau 3 K: Hamoraon—Kekayaan , Hagabeon—Kebahagiaan,  dan Hasangapon—Kehormatan. Setelah ketiga hal ini dicapai, maka barulah seseorang itu bisa disebut, Saur—Sempurna.

Sepertinya tidak ada yang salah dari tujuan ini. Menjadi kaya, lalu bahagia, kemudian terhormat, bukankah ideal? Secara apriori, saya yakin 3H ini ada di ambang sadar setiap insan manusia, tidak terkecuali orang Batak. Artinya, mungkin semua manusia di kolong langit, bercita-cita menggapai 3 H tersebut dengan caranya  masing-masing. Tetapi dan lalu menjadi pertanyaan, apakah benar, seorang KAYA dari  hasil menjarah, atau menipu, atau korupsi itu bahagia dan bisa diberi label sebagai seorang TERHORMAT?

Semua orang tahu siapa seorang Akil Muchtar. Saya berani menyebut namanya di sini, karena bekas Ketua Mahkamah Konstitusi ini sudah menjadi terpidana. Apakah dia seorang yang Terhormat?  Begitu juga dengan siapalah yang ada di benak Anda  orang Batak yang banyak uang tapi hasil korupsi dan kemudian menjadi penghuni hotel Prodeo, apakah yang bersangkuta ini yang dimaksud dengan TERHORMAT?

Tak pelak lagi, saya harus hormat kepada Nahum Situmorang, yang maaf, bukan karena kebetulan dia menjadi Tulangnya si Obamaputralaris, sehingga berlandas ke Dalihan Natolu, dan karena itu, saya mutlak harus hormat padanya, yang mengatakan :

(Maragam-ragam  doanggo sitta-sitta di hita manisia

Hamoraon, hagabeon, hasangapon,

Ido di lului nadeba

Di nadeba asalma tarbarita goarna tahe



Anggo di au asingdo  sitta-sitta KECUALI

Tung holong ni roham si sambing—HANYA—jadi, tidak ada yang lain

Na huparsitta-sitta.

Tung asi ni roham ma ito unang loas au maila...
....)

Barangkali saja, apa yang disampaikan NS ini, hanya bisa dipakai dalam lagu dan tidak bisa diterapkan dalam kehidupan nyata. Bahkan yang lebih pahit, bisa saja anda menyetir kalimat-kalimat sumbang yang menyebut, “Nadila Parende” dan menambahkan, “Ai boi do bosur siubeon molo holan marende?”
 
Terserahlah. Tetapi, tak salah juga seperti  yang disampaikan oleh anak si Tukang kayu, “Manusia hidup tidak hanya dari sepotong roti, tapi juga dari karunia si Pencipta.” Karena ternyata kalau tujuan manusia adalah untuk merebut KEBAHAGIAAN dan karena itu menjadi TERHORMAT, apakah selalu dengan memiliki harta yang berlimpah sebagai sarananya? Karena seperti disebutkan di atas, Akil Muchtar di mata sebagian besar Masyarakat Indonesia, TIDAK LAGI TERHORMAT, meski dia sempat memiliki harta,  yang jika dipakai untuk membangun jalan Lingkar Pulau Samosir masih lebih dan sisanya bisa membeli kapal korek untuk dipakai mengeruk terusan Tano Ponggol.
***
Selamat menyongsong hari Minggu

(Molo mangaleon durungdurung marsogot,
molo na mera do warnani hepeng i,
unang pola dipatudutudu tuhombar jolo manang tu dongan na di samping...)