GURU DAEK
Kalau dia masih hidup, saya akan sempatkan pulang
dan singgah di rumahnya di Simangonding, TANO PONGGOL, Pangururan,
Samosir. Saya merindukan sosoknya yang santun, memiliki kharisma
tinggi, dan sangat disegani oleh lawan dan kawannya.
Oleh
Almarhum Among, kami bertiga, JJ Corleman Naibaho, Edison Naibaho dan
saya sudah
dipajae di Simangonding, dengan membangun kios yang kami
sebut
petak, persis di depan rumahnya yang bersebelahan dengan rumah
Rakhman Naibaho. Di petak itulah kami tinggal sambil berdagang dengan
menjual macam-macam kebutuhan pokok sehari-hari, antara lain roti
kelapa, ketawa dan minyak tanah.
Yang saya pentingkan dari dia,
hanya mau mendapatkan jawaban untuk pertanyaan yang selama puluhan tahun
mendekam di otak saya, yaitu, mengapa dia begitu ditakuti dan disegani
di Kaban Jahe, Tanah Karo, Haranggaol, Simalungun dan di Samosir tentunya. Padahal
setahuku, dia bukan pembunuh, bukan juga yang suka,
anggar jago,
pajago-jagohon atau yang sukanya memukuli orang. Setahuku, hanya sekali
dia
manopar—memukul seseorang di
Tano Lapang, hingga wajah yang
dipukulnya berdarah-darah, lebih pada sikap yang dipukulinya itu mau
coba-coba, sejauh mana sebetulnya kehebatan Guru Daek ini sebagaimana
diceritakan orang lain.
Jujur, di waktu kecil, saya teramat takut
bertemu sosok ini. Kalau kebetulan dia membeli rokok atau sesuatu dari
petak kami, hati sudah degdegan. Tak berani menatap wajahnya. Padahal Guru Daek ini, kalau
berbicara, suaranya lembut dan sikapnya amat santun. “Dia jo sabungkus Union Filter i
anggia," pintanya dengan suara lembut. Dia selalu santun kepada siapa pun,
termasuk ke anak-anak. Saat itu, Abang saya duduk di SMP Budimulia dan
saya masih SD.
Suatu ketika, saya
manangi-nangi, bahwa Guru Daek
ini memberi nasehat kepada anakbuahnya, kalau tidak salah sebut, namanya
Japuti, kalau duduk di Lapo, atau di tempat umum, harus membelakangi
tembok dan menghadap arah pintu orang masuk. Katanya, siapa tahu ada lawan
atau musuh datang. Kalau musuh datang harus dihadapi, bukan untuk
dihindari. Dengan menghadap langsung ke arah pintu masuk, maka ada kesiapan
untuk menangkis dan memukul balik sang musuh .
Seingat saya,
dari cerita-cerita anakbuhnya yang datang ke petak kami, Guru Daek ini,
bukanlah seorang pemarah dan tidak suka marah-marah. Tetapi apa yang diperintahkan ke
anakbuahnya, tidak seorang pun di antara anakbuahnya yang berani melawan. Dan yang paling saya
ingat, katanya, Guru Daek ini pantang mengetahui dan membiarkan
anakbuahnya lapar atau kelaparan. Konon, kalau anakbuahnya tidak punya
uang dan perut lapar, mereka akan datang ke lapo dengan santun, dan
meminta disediakan makanan dan yang akan membayar adalah Guru Daek. Dan
jangan salah, berapa banyak pun biaya atau harga makanan yang disantap
anakbuahnya, Guru Daek selalu setia membayarnya.
***
PARMAHAN SO MARBATAHI
Beberapa tahun lalu,saya sempat menjadi “murid” Prakitri Tahi Simbolon, seorang Doktor asal Rianiate. Selama menjadi murid, dia membekali saya dengan begitu banyak Ilmu Kepemimpinan. Sayangnya,
saya tidak mampu mencernanya secara baik dan benar, karena tahulah
kalian si Prakitri Tahi Simbolon ini, dikiranya semua orang yang
diajarinya secerdas dirinya, sehingga banyak yang di tengah jalan,
kalau tidak mundur teratur. yang meneruskan, bisa dipastikan
otak sang murid akan mengarah ke
“pesong” karena pasti tidak kuat untuk
menampung semua yang dikatakan--diajarkannya.
Meski saya mundur teratur,
tapi selama menjadi murid, masih ada yang terekam di otak saya, yaitu
jabarannya tentang, bahwa sebenarnya, orang Batak itu bukanlah orang
kasar seperti yang dilabeli oleh kelompok tertentu. Orang Batak itu,
bahkan mungkin orang aatau suku yang paling santun dan terlembut hatinya daripada
semua suku yang ada di dunia. Menurut Prakitri, hanya orang Bataklah yang mengajarkan cara
memimpin ala :
Parmahan so MARBATAHI--penggembala tanpa pecut.
Pamuro so MARUMBALANG—Karena itu, saya teramat risih sekaligus geram, kalau ada calon
Bupati yang AROGAN—yang bicaranya, ini menurut saya, tidak lagi santun dan apalagi yang—akan “
Mangompashon Bolonna dohot Mangalipathon
ganjangna.”—yang tidak lagi mengindahkan Kaedah Hukum yang berlaku, yang tanda-tandanya akan menyelesaikan segala sesuatunya dengan
kekerasan--
balga nibotohon, atau yang barangkali akan
“menggembalakan”
PAREMAN untuk mewujudkan keinginannya.
***
Salam untuk keluarga di Samosir.
Mulak ma hita tu pangalaho na ni ajarhon ni Omputta.
(Pantun hangoluan,
Tois hamagoan.)