Jumat, 31 Oktober 2014

GURU DAEK

Kalau dia masih hidup, saya akan sempatkan pulang dan singgah di rumahnya di Simangonding, TANO PONGGOL, Pangururan, Samosir. Saya merindukan sosoknya yang santun, memiliki kharisma tinggi, dan sangat disegani oleh lawan dan kawannya.

Oleh Almarhum Among, kami bertiga, JJ Corleman Naibaho, Edison Naibaho dan saya sudah dipajae di Simangonding, dengan membangun kios yang kami sebut petak, persis di depan rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Rakhman Naibaho. Di petak itulah kami tinggal sambil berdagang dengan menjual macam-macam kebutuhan pokok sehari-hari, antara lain roti kelapa, ketawa dan minyak tanah.

Yang saya pentingkan dari dia, hanya mau mendapatkan jawaban untuk pertanyaan yang selama puluhan tahun mendekam di otak saya, yaitu, mengapa dia begitu ditakuti dan disegani di Kaban Jahe, Tanah Karo, Haranggaol, Simalungun dan di Samosir tentunya. Padahal setahuku, dia bukan pembunuh, bukan juga yang suka, anggar jago, pajago-jagohon atau yang sukanya memukuli orang. Setahuku, hanya sekali dia manopar—memukul seseorang di Tano Lapang, hingga wajah yang dipukulnya berdarah-darah, lebih pada sikap yang dipukulinya itu mau coba-coba, sejauh mana sebetulnya kehebatan Guru Daek ini sebagaimana diceritakan orang lain.

Jujur, di waktu kecil, saya teramat takut bertemu sosok ini. Kalau kebetulan dia membeli rokok atau sesuatu dari petak kami, hati sudah degdegan. Tak berani menatap wajahnya. Padahal Guru Daek ini, kalau berbicara, suaranya lembut dan sikapnya amat santun. “Dia jo sabungkus Union Filter i anggia," pintanya dengan suara lembut. Dia selalu santun kepada siapa pun, termasuk ke anak-anak. Saat itu, Abang saya duduk di SMP Budimulia dan saya masih SD.

Suatu ketika, saya manangi-nangi, bahwa Guru Daek ini memberi nasehat kepada anakbuahnya, kalau tidak salah sebut, namanya Japuti, kalau duduk di Lapo, atau di tempat umum, harus membelakangi tembok dan menghadap arah pintu orang masuk. Katanya, siapa tahu ada lawan atau musuh datang. Kalau musuh datang harus dihadapi, bukan untuk dihindari. Dengan menghadap langsung ke arah pintu masuk, maka ada kesiapan untuk menangkis dan memukul balik sang musuh .

Seingat saya, dari cerita-cerita anakbuhnya yang datang ke petak kami, Guru Daek ini, bukanlah seorang pemarah dan tidak suka marah-marah. Tetapi apa yang diperintahkan ke anakbuahnya,  tidak seorang pun di antara anakbuahnya yang berani melawan. Dan yang paling saya ingat, katanya, Guru Daek ini pantang mengetahui dan membiarkan anakbuahnya lapar atau kelaparan. Konon, kalau anakbuahnya tidak punya uang dan perut lapar, mereka akan datang ke lapo dengan santun, dan meminta disediakan makanan dan yang akan membayar adalah Guru Daek. Dan jangan salah, berapa banyak pun biaya atau harga makanan yang disantap anakbuahnya, Guru Daek selalu setia membayarnya.
***

PARMAHAN SO MARBATAHI

Beberapa tahun lalu,saya sempat menjadi “murid” Prakitri Tahi Simbolon, seorang Doktor asal Rianiate. Selama menjadi murid, dia membekali saya dengan begitu banyak Ilmu Kepemimpinan. Sayangnya, saya tidak mampu mencernanya secara baik dan benar, karena tahulah kalian si Prakitri Tahi Simbolon ini, dikiranya semua orang yang diajarinya secerdas dirinya, sehingga banyak yang di tengah jalan, kalau tidak mundur teratur. yang meneruskan, bisa dipastikan otak sang murid  akan mengarah ke “pesong” karena pasti tidak kuat untuk menampung semua yang dikatakan--diajarkannya.

Meski saya mundur teratur, tapi selama menjadi murid, masih ada yang terekam di otak saya, yaitu jabarannya tentang, bahwa sebenarnya,  orang Batak itu bukanlah orang kasar seperti yang dilabeli oleh kelompok tertentu. Orang Batak itu, bahkan mungkin orang aatau suku yang paling santun dan terlembut hatinya daripada semua suku yang ada di dunia.  Menurut Prakitri, hanya orang Bataklah yang mengajarkan cara memimpin ala : Parmahan so MARBATAHI--penggembala tanpa pecut. Pamuro so MARUMBALANG—Karena itu, saya teramat risih sekaligus geram, kalau ada calon Bupati yang AROGAN—yang bicaranya, ini menurut saya, tidak lagi santun dan apalagi yang—akan “Mangompashon Bolonna dohot Mangalipathon ganjangna.”—yang tidak lagi mengindahkan Kaedah Hukum yang berlaku, yang tanda-tandanya akan menyelesaikan segala sesuatunya dengan kekerasan--balga   nibotohon, atau yang barangkali akan “menggembalakan” PAREMAN untuk mewujudkan keinginannya.
***
Salam untuk keluarga di Samosir.
Mulak ma hita tu pangalaho na ni ajarhon ni Omputta.

(Pantun hangoluan,
Tois hamagoan.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar