Senin, 20 Oktober 2014

UNANG HO MAMUNU—JANGAN MEMBUNUH

Pablo Escobar, akhirnya mati dibunuh tahun 1993 oleh seterunya sesama pebisnis Kokain. Bos kokain (narkoba) yang menjadi orang terkaya di Kolombia ini, dikenal sebagai dermawan di kalangan tertentu sehingga dia dicintai bahkan mengawalnya agar tidak tertangkap oleh Pemerintah Kolombia dan Agen AS.

Sebagai orang terkaya di Kolombia yang mengusai bisnis property, perhotelan, serta mampu “menyekolah” anakbuahnya menduduki DPRD, dikenal sebagai seorang dermawan terhadap kaum miskin pun ringan tangan untuk membantu dan membiayai kegiatan gereja, sehingga hampir semua orang di daerahnya, seakan sepakat bahwa Escobar wajib dilindungi, karena sudah dilabeli sebagai orang baik, yang padahal bisnisnya, telah merusak sebagian besar generasi muda di AS, sehingga Pemerintah AS menjadikannya sebagai target untuk dimusnahkan dari bumi untuk melindungi manusia dari kerusakan akibat Narkoba.

“Bolehkah berbuat amoral untuk tujuan moral?”

Pertanyaan ini pernah mengguncang rakyat Israel, karena dihadapkan kepada situasi, untuk melindungi tumpah darah Israel. Mereka harus menerbangkan pesawat tercanggih untuk memborbardir musuh yang juga tetangga mereka, yang tidak bisa tidak, atau dapat dipastikan akan memakan korban nyawa manusia, dan jadilah mereka menjadi PEMBUNUH, yang padahal sangat jelas, di dalam Hukum Taurat yang diajarkan oleh Musa, “ Unang ho mamunu—Jangan membunuh”—Membunuh adalah perbuatan Amoral—Sementara melindungi rakyat Israel dari musuh adalah perbuatan MORAL bangsa Israel.

Sekarang saya meralat ucapan saya yang lalu dalam rangka mendukung Revolusi Mentalnya Joko Widodo, Presiden kita yang dilantik besok (20/10).

Ketika itu saya mengatakan, saya bersedia menerima uang dari seorang Koruptor atau pelanggar hukum lainnya, perampok misalnya, yang akan saya gunakan untuk merawat Tano Ponggol. Tak sekali duakali saya mengatakan itu di kalangan orang terpelajar, yang biasanya mereka jawab dengan senyuman dan tanpa kata-kata—tanpa komentar. Adapun alasan saya ketika itu, yang penting, uang yang akan saya terima, tidak akan saya gunakan untuk keperlauan pribadi atau untuk menambah kocek saya, murni akan saya gunakan untuk TANO PONGGOL. Seperti anda tahu semua, ketika saya tinggalkan TANO PONGGOL 1974 terusan kebanggaan Indonesia ini, masih bisa dilalui kapal penumpang, dan sekarang terusan ini begitu merana, meski sudah 10 tahun menjadi Kabupaten, belum ada tanda-tanda akan dirawat agar bisa lebih baik daripada dahulu itu.

Benar atau tidak, sekarang ini, ada wacana dan tampaknya sudah mulai masuk ke ambang sadar masyarakat tertentu di Samosir, yang mendukung : “Bisa berbuat amoral untuk tujuan moral”. Maka siapa pun yang akan membangun sesuatu di sana, meski tanpa AMDAL, melanggar Perda, bahkan jikapun bertentangan dengan UU, asalkan bisa memberi makan—menghidupi masyarakat sekitar (setempat) itu akan didukung dan bahkan akan dianggap sebagai PAHLAWAN.

Salah atau benarkah sikap ini?

Tulisan pendek ini tidak akan memberi jawab salah, apalagi mendukung bahwa sikap itu benar. Mungkin saja, sikap ini tumbuh,  dipicu oleh kemiskinan materi dan kemiskinan pengetahuan serta perilaku pejabat yang tidak berpihak pada rakyat, sehingga “Kepentingan jangka pendek mengesampingkan kepentingan jangka panjang” menjadi pilihan. “Molo dung mate au haduan, dang hubereng be na masa i—Kalau aku sudah mati, kelak tidak akan kulihat lagi semua kejadian itu.” Artinya haccit hian do paneat ni si ubeon i—betapa sakitnya menahan lapar, sehingga apa saja yang ada saat itu,  asalkan kebutuhan pokok tercapai, ambil, terkam dan lumat, meski kelak akan menimbulkan petaka, seperti kegersangan, banjir, dan lain-lain.
***
Salam dari Rantau.
Dan Selamat Hari Minggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar