NAHUM SITUMORANG DAN SIDHARTA GAUTAMA
(lembar pertama)
Kita memerlukan
kata, KECUALI. Kalau kata ini
sampai dicabut dari Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI) dan apalagi dilarang
penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, saya yakini akan tercipta ketidakadilan. Ada ungkapan yang sangat terkenal
di masyarakat Inggeris, “There is no rule without exception.—Tidak ada
hukum tanpa kecuali.”, karena itu dalam tulisan saya di dalam buku MERENUNG DIBALUT SENYUM, yang salah
satu berjudul, “MAAFKAN SAYA INANG BAO”,
memastikan, bukan Dosa tak berampun,
jika seorang Bao,harus memangku
Inangbaonya, jika hal tersebut dilakukan untuk menyelamatkan jiwa manusia dan
terhindar dari hukuman Tuhan. Sebab, bukankah Tuhan memerintahkan untuk
mengasihi orang lain seperti diri sendiri?
Katanya, tapi
apakah ini adalah hasil penelitian dan merupakan sebuah kesimpulan, bahwa orang Batak di dalam hidupnya yang sesungguhnya, tujuannya adalah untuk mengejar 3 H atau 3 K: Hamoraon—Kekayaan
, Hagabeon—Kebahagiaan, dan Hasangapon—Kehormatan. Setelah
ketiga hal ini dicapai, maka barulah seseorang itu bisa disebut, Saur—Sempurna.
Sepertinya tidak
ada yang salah dari tujuan ini. Menjadi kaya, lalu bahagia, kemudian terhormat,
bukankah ideal? Secara apriori, saya yakin 3H ini ada di ambang sadar setiap
insan manusia, tidak terkecuali orang Batak. Artinya, mungkin semua manusia di
kolong langit, bercita-cita menggapai 3 H tersebut dengan caranya masing-masing. Tetapi dan lalu menjadi
pertanyaan, apakah benar, seorang KAYA dari
hasil menjarah, atau menipu, atau korupsi itu bahagia dan bisa diberi
label sebagai seorang TERHORMAT?
Semua orang tahu
siapa seorang Akil Muchtar. Saya berani menyebut namanya di sini, karena bekas
Ketua Mahkamah Konstitusi ini sudah menjadi terpidana. Apakah dia seorang yang
Terhormat? Begitu juga dengan siapalah yang ada di benak Anda orang Batak yang banyak uang tapi hasil
korupsi dan kemudian menjadi penghuni hotel Prodeo, apakah yang bersangkuta ini
yang dimaksud dengan TERHORMAT?
Tak pelak lagi,
saya harus hormat kepada Nahum Situmorang, yang maaf, bukan karena kebetulan
dia menjadi Tulangnya si Obamaputralaris, sehingga berlandas ke Dalihan Natolu,
dan karena itu, saya mutlak harus hormat padanya, yang mengatakan :
(Maragam-ragam doanggo sitta-sitta di hita manisia
Hamoraon, hagabeon,
hasangapon,
Ido di lului nadeba
Di nadeba asalma tarbarita
goarna tahe
Anggo di au asingdo sitta-sitta –KECUALI
Tung holong ni roham si
sambing—HANYA—jadi, tidak ada yang lain
Na huparsitta-sitta.
Tung asi ni roham ma ito unang
loas au maila...
....)
Barangkali saja, apa yang
disampaikan NS ini, hanya bisa dipakai dalam lagu dan tidak bisa diterapkan
dalam kehidupan nyata. Bahkan yang lebih pahit, bisa saja anda menyetir
kalimat-kalimat sumbang yang menyebut, “Nadila
Parende” dan menambahkan, “Ai boi do
bosur siubeon molo holan marende?”
Terserahlah. Tetapi, tak salah
juga seperti yang disampaikan oleh anak
si Tukang kayu, “Manusia hidup tidak hanya dari sepotong roti, tapi juga dari
karunia si Pencipta.” Karena ternyata kalau tujuan manusia adalah untuk merebut
KEBAHAGIAAN dan karena itu menjadi TERHORMAT, apakah selalu dengan memiliki
harta yang berlimpah sebagai sarananya? Karena seperti disebutkan di atas, Akil
Muchtar di mata sebagian besar Masyarakat Indonesia, TIDAK LAGI TERHORMAT, meski dia sempat memiliki harta, yang jika dipakai untuk membangun jalan
Lingkar Pulau Samosir masih lebih dan sisanya bisa membeli kapal korek untuk
dipakai mengeruk terusan Tano Ponggol.
***
***
Selamat menyongsong hari
Minggu
(Molo mangaleon durungdurung marsogot,
molo
na mera do warnani hepeng i,
unang pola dipatudutudu tuhombar jolo manang tu dongan
na di samping...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar