Senin, 09 Juni 2014

TANGIANG ADLIPS

Memang cerita ini sudah dalwarsa, usang, dan tidak mungkin lagi membuat kita tertawa. Tapi, karena masih membekas di benak, tetap saja saya tuliskan dan share kepada anda. Terserah mau bilang apa, karena tulisan ini tidak sedang menceritakan siapa atau mengejek siapa, tapi hanya sekedar perenungan bagi saya. Jadi, jika anda tertawa dan tidak marah, berarti paslah tulisan ini untuk anda. Jika anda marah dan merasa tersinggung, ini BUKAN UNTUK ANDA. Ingatlah pesan Nenek moyang kita, “Dang ditopot aek na soboruran.”

Kejadiannya kemarin di tempat arisan.

Sebetulnya saya sudah malas datang ke acara seperti ini. Membosankan. Karena acaranya begitu-begitu aja. Tidak inspiratif, dan cenderung “menambah dosa.” Jangan terus marah, karena ini hanya pendapat subjektif saya.

Soalnya  tiap arisan, selalu dibuka dengan “Partangiangan”.  Buka dengan doa, bernyanyi, dan membacakan ayat-ayat. Kadang di situasi itu pula banyak orang “pamer” pengetahuan tentang isi Kitab Suci. Padahal saya sudah bolak-balik memrotes, bahwa Arisan adalah tempat berkumpul KELUARGA, karena pertautan marga dan darah. Sebutlah yang se-darah. Jadi pertemuan bukan karena se-AGAMA.

Dan itulah soalnya, saya malas hadir di Arisan. Tapi kemarin ½ dipaksa Inang ni dakdanahi, saya hadir. Ini demi KEUTUHAN Rumah Tangga. Soalnya, kami tinggal di lantai 2, dan tiap hari harus naik tangga. Jadi agar Rumah tangga utuh, sesekali mengalah, walau akibatnya selalu  perang mulut seusai arisan.

Begitu juga dengan kemarin, nongol lagi sikap isengku. Iseng aja, karena bagi saya doa itu bukan iklan untuk sesama. Menurutku, ah, kita tidak usah sebut pun, Tuhan pasti tahu apa yang ada di pikiran kita.  Sedangkan Pargocci di Samosir bisa “ sok tahu.” Dengarlah pinta-pinta( pitta-pitta) ini…
(Amang pargocci,
Sitili-tili ma ninna sitolo-tolo
Naung so hudok, nunga diboto ho….)

Nah kemarin itu, seperti biasa,  Tuan rumah memimpin doa terkahir. Ini meruapakan sandi, usai berdoa siapa pun tamu bisa pulang. Begini doanya.

“ ….(di edit) Engkau tahu Tuhan, kami selalu rindu akan jamahan tanganmu, maka jamalah segala sesuatunya. Urapi kami semua. Selain itu, secara khusus kuminta padamu, berilah kesehatan kepada anakku yang lagi study di Jerman, putraku dan mantuku yang sedang berwisata rohani  ke Jerusalem. Tak ketinggalan Tuhan, cucuku yang baru dilantik jadi Komisaris Polisi dan sedang bertugas jauh di Sumatera sana. Juga Tuhan, kumohon padamu, sebentar lagi, putri bungsu kami yang akan berangkat ke Inggeris dan kuliah di sana… sertai dia selama di sana Tuhan. Di samping itu dari segala kerendahan hati kami meminta pada kami Tuhan, berkatilah segala usaha kami, khususnya  Pertambangan Batubara yang  di Kalimantan yang sedang dalam proses pembangunan akhir, yang jika berjalan normal akan berproduksi mulai Agustus 2014 ini Tuhan…dst.

(tiba-tiba…Aku nyeletuk. “Masih lama tidak sih doanya? Kayaknya terlalu panjang, dan tidak perlu deh disampaikan semua…!—Tapi  aku tetap dalam sikap mengikuti doa dengan mata terpejam.

Sesaat kemudian,  apakah karena saya menyeletuk, saya tidak tahu, tetapi yang pimpin doa langsung bilang, “Amen.”

Keadaan memang menjadi tidak kondusif. Semua diam. Inanta pardijabu bohina songon harimau ma mamereng au. Tapi aku tidak peduli. Sepanjang jalan, dan hingga sore ini dia tidak mau bissara kepada saya. Kemarin sempat dia bilang, “ Ho mambaen mate do pargaulan…Gabe sisogo di iba di sude inganan.”

Aku diam. Tapi dalam hati aku bergumam, “Doa kok kayak iklan!”—Dipessat pe taho gabe anggota.
***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar