TANGIANG ADLIPS
Memang cerita ini sudah
dalwarsa, usang, dan tidak mungkin lagi membuat kita tertawa. Tapi, karena
masih membekas di benak, tetap saja saya tuliskan dan share kepada anda. Terserah mau bilang apa, karena tulisan ini
tidak sedang menceritakan siapa atau mengejek siapa, tapi hanya sekedar
perenungan bagi saya. Jadi, jika anda tertawa dan tidak marah, berarti paslah
tulisan ini untuk anda. Jika anda marah dan merasa tersinggung, ini BUKAN UNTUK
ANDA. Ingatlah pesan Nenek moyang kita, “Dang
ditopot aek na soboruran.”
Kejadiannya kemarin di
tempat arisan.
Sebetulnya saya sudah
malas datang ke acara seperti ini. Membosankan. Karena acaranya begitu-begitu
aja. Tidak inspiratif, dan cenderung “menambah dosa.” Jangan terus marah,
karena ini hanya pendapat subjektif saya.
Soalnya tiap arisan, selalu dibuka dengan “Partangiangan”.
Buka dengan doa, bernyanyi, dan
membacakan ayat-ayat. Kadang di situasi itu pula banyak orang “pamer”
pengetahuan tentang isi Kitab Suci. Padahal saya sudah bolak-balik memrotes,
bahwa Arisan adalah tempat berkumpul KELUARGA, karena pertautan marga dan
darah. Sebutlah yang se-darah. Jadi pertemuan bukan karena se-AGAMA.
Dan itulah soalnya,
saya malas hadir di Arisan. Tapi kemarin ½ dipaksa Inang ni dakdanahi, saya hadir. Ini demi KEUTUHAN Rumah Tangga.
Soalnya, kami tinggal di lantai 2, dan tiap hari harus naik tangga. Jadi agar
Rumah tangga utuh, sesekali mengalah, walau akibatnya selalu perang mulut seusai arisan.
Begitu juga dengan
kemarin, nongol lagi sikap isengku.
Iseng aja, karena bagi saya doa itu bukan iklan untuk sesama. Menurutku, ah,
kita tidak usah sebut pun, Tuhan pasti tahu apa yang ada di pikiran kita. Sedangkan Pargocci
di Samosir bisa “ sok tahu.” Dengarlah pinta-pinta(
pitta-pitta) ini…
(Amang pargocci,
Sitili-tili ma
ninna sitolo-tolo
Naung so hudok,
nunga diboto ho….)
Nah kemarin itu,
seperti biasa, Tuan rumah memimpin doa
terkahir. Ini meruapakan sandi, usai berdoa siapa pun tamu bisa pulang. Begini
doanya.
“ ….(di edit) Engkau
tahu Tuhan, kami selalu rindu akan jamahan tanganmu, maka jamalah segala sesuatunya.
Urapi kami semua. Selain itu, secara khusus kuminta padamu, berilah kesehatan
kepada anakku yang lagi study di Jerman, putraku dan mantuku yang sedang
berwisata rohani ke Jerusalem. Tak
ketinggalan Tuhan, cucuku yang baru dilantik jadi Komisaris Polisi dan sedang
bertugas jauh di Sumatera sana. Juga Tuhan, kumohon padamu, sebentar lagi,
putri bungsu kami yang akan berangkat ke Inggeris dan kuliah di sana… sertai
dia selama di sana Tuhan. Di samping itu dari segala kerendahan hati kami
meminta pada kami Tuhan, berkatilah segala usaha kami, khususnya Pertambangan Batubara yang di Kalimantan yang sedang dalam proses
pembangunan akhir, yang jika berjalan normal akan berproduksi mulai Agustus
2014 ini Tuhan…dst.
(tiba-tiba…Aku
nyeletuk. “Masih lama tidak sih doanya? Kayaknya terlalu panjang, dan tidak
perlu deh disampaikan semua…!—Tapi aku
tetap dalam sikap mengikuti doa dengan mata terpejam.
Sesaat kemudian, apakah karena saya menyeletuk, saya tidak
tahu, tetapi yang pimpin doa langsung bilang, “Amen.”
Keadaan memang menjadi
tidak kondusif. Semua diam. Inanta
pardijabu bohina songon harimau ma mamereng au. Tapi aku tidak peduli.
Sepanjang jalan, dan hingga sore ini dia tidak mau bissara kepada saya. Kemarin
sempat dia bilang, “ Ho mambaen mate do
pargaulan…Gabe sisogo di iba di sude inganan.”
Aku diam. Tapi dalam
hati aku bergumam, “Doa kok kayak iklan!”—Dipessat
pe taho gabe anggota.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar