O B O R
Di masa kecil saya di Kampung kelahiran
saya Pangururan, Samosir, menjelang Natal, ada suatu acara di maLam hari “Marobor-obor”.
ini ketika Listrik belum ada dan alat penerangan paling canggih di rumah
penduduk MASIH lampu Petromak atau
disebut orang lampu gas.
Acara marobor-obor ini, biasanya
dipandu oleh guru sekolah minggu yang startNYA dari halaman sekolah atau dari halaman gereja,
mirip sebuah pawai, karena anak-anak biasanya mengenakan pakaian bebas yang berwarna-warni dan setiap orang membawa obornya
masing-masing.
Obor ini terbuat dari batang bambu
yang diberi sumbu dan bahan bakarnya
minyak tanah. Setelah sumbu obor
dinyalakan, dan anak-anak dibuat berbaris, maka perjalanan dimulai menyusur
jalan-jalan yang ditentukan. Tentu saja jalanan menjadi terang-benderang berkat cahaya dari
OBOR. Belakangan Obor yang terbuat dari bamboo tergantikan dengan kehadiran
lilin.
Sambil berjalan dengan gerakan
seperti baris-berbaris, sepanjang jalan peserta tidak henti menyanyikan
berbagai ende—lagu, utamanya yang berkaitan dengan Natal. Salah
satu lagu yang penggalannya masih saya ingat…
(…obor obor,
Obor obor
Marhillong –hillong lilin i
Manamu-nomu raja i…
Obor obor)
Pada saat itu Obor dinyalakan adalah untuk
menerangi kegelapan, sehingga mata bisa melihat ke depan sehingga kaki tidak
terantuk-antuk.
***
William Shakespeare, penulis cerita Macbeth dengan
nada bertanya, “What’s in the name?”—Apa yang
tersirat di dalam nama?
Nama tentu mencerminkan sesuatu. Misalnya oleh
ayah saya almarhum, saya diberi nama Laris. Menurut dia, agar apa pun yang saya
jual agar laku atau laris. Kenyataanya memang demikian, karena pancake durian asal MEDAN, yang kemudian
diberi merk Obama Pancake, saat ini
tergolong laris manis, karena, bahkan seorang Jansen Sinamo, Sang Guru Ethos
yang motivator Nasional itu telah pula memesannya. Weh. Karena itu, tentulah hati saya menjadi miris dan menggugat,
mengapa juga OBOR yang terbit dan
beredar saat ini, tidak mencerminkan isi seperti namanya. Bukankah seharusnya media cetak ini,
akan menerangi pikiran dan kemudian menyejuki hati setiap insan yang
membacanya? Kalau kemudian, seperti yang
dilansir berbagai media elektoronik, di mana setelah masyarakat membaca
terbentuk dua kubu yang saling mengejek dan bahkan mengarah kepada “Peperangan.”
Saya amat menyadari, untuk
membangun Opini agar jagoan kita naik elektabilitasnya, dan kelak kalau menang
bisa membusungkan dada sebagai orang yang berjasa, apa pun harus dilakukan. Tetapi, sangat disayangkan,
jika hanya untuk tujuan itu, kita harus melakukan Black Campaign dan seperti dimuat di KOMPAS hari ini, ada 3
Ketentuan Undang-Undang yang mungkin sudah dilanggar oleh OBOR :
1.
UU No.40 tentang Pers,
2.
UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden
3.
KUHP (310, 311, 315).
Padahal sesungguhnya seorang yang
mengaku INTELEK tentulah harus menggunakan akalnya, karena fungsi akal adalah membedakan
mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu, Karena kita juga tahu tentang
ETIKA, yaitu Pola bersikap tindak, baik interpersonal maupun antarpersonal, pasti
bisa membantu kita untuk lebih BIJAK untuk mengekspos sesuatu.
***
Catatan Penulsis : (Siapa pun
yang menjadi Presiden tidak menjadi masalah, karena pastilah tujuannya untuk
mencerdaskan manusia INDONESIA, termasuk saya yang masih bego, karena seringkali ASBUN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar