Rabu, 18 Juni 2014

Obor

O B O R
Di masa kecil saya di Kampung kelahiran saya Pangururan, Samosir, menjelang Natal, ada suatu acara di maLam hari “Marobor-obor”. ini ketika Listrik belum ada dan alat penerangan paling canggih di rumah penduduk MASIH  lampu Petromak atau disebut orang lampu gas.
Acara marobor-obor ini, biasanya dipandu oleh guru sekolah minggu yang startNYA  dari halaman sekolah atau dari halaman gereja, mirip sebuah pawai, karena anak-anak biasanya mengenakan pakaian  bebas yang berwarna-warni  dan setiap orang membawa obornya masing-masing.
Obor ini terbuat dari batang bambu  yang diberi sumbu dan bahan bakarnya minyak tanah.  Setelah sumbu obor dinyalakan, dan anak-anak dibuat berbaris, maka perjalanan dimulai menyusur jalan-jalan yang ditentukan. Tentu saja jalanan  menjadi terang-benderang berkat cahaya dari OBOR. Belakangan Obor yang terbuat dari bamboo tergantikan dengan kehadiran lilin.
Sambil berjalan dengan gerakan seperti baris-berbaris, sepanjang jalan peserta tidak henti menyanyikan berbagai ende—lagu,  utamanya yang berkaitan dengan Natal. Salah satu lagu yang penggalannya masih saya ingat…
(…obor obor,
Obor obor
Marhillong –hillong lilin i
Manamu-nomu raja i…
Obor obor)

 Pada saat itu Obor dinyalakan adalah untuk menerangi kegelapan, sehingga mata bisa melihat ke depan sehingga kaki tidak terantuk-antuk.
***
William Shakespeare, penulis cerita Macbeth dengan nada bertanya, “What’s in the name?”—Apa yang tersirat di dalam nama?
 Nama tentu mencerminkan sesuatu. Misalnya oleh ayah saya almarhum, saya diberi nama Laris. Menurut dia, agar apa pun yang saya jual agar laku atau laris. Kenyataanya memang demikian, karena pancake durian asal MEDAN, yang kemudian diberi merk Obama Pancake,  saat ini tergolong laris manis, karena, bahkan seorang Jansen Sinamo, Sang Guru Ethos yang motivator Nasional itu telah pula memesannya. Weh. Karena itu, tentulah hati saya menjadi miris dan menggugat, mengapa  juga OBOR yang terbit dan beredar saat ini, tidak mencerminkan isi seperti  namanya. Bukankah seharusnya media cetak ini, akan menerangi pikiran dan kemudian menyejuki hati setiap insan yang membacanya?  Kalau kemudian, seperti yang dilansir berbagai media elektoronik, di mana setelah masyarakat membaca terbentuk dua kubu yang saling mengejek dan bahkan mengarah kepada “Peperangan.”

Saya amat menyadari, untuk membangun Opini agar jagoan kita naik elektabilitasnya, dan kelak kalau menang bisa membusungkan dada sebagai orang yang berjasa, apa pun  harus dilakukan. Tetapi, sangat disayangkan, jika hanya untuk tujuan itu, kita harus melakukan Black Campaign dan seperti dimuat di KOMPAS hari ini, ada 3 Ketentuan Undang-Undang yang mungkin sudah dilanggar oleh OBOR :
1.      UU No.40 tentang Pers,
2.      UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden
3.      KUHP (310, 311, 315).
Padahal sesungguhnya seorang yang mengaku INTELEK tentulah harus menggunakan akalnya, karena fungsi akal adalah membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu, Karena kita juga tahu tentang ETIKA, yaitu Pola bersikap tindak, baik interpersonal maupun antarpersonal, pasti bisa membantu kita untuk lebih BIJAK untuk mengekspos sesuatu.
***

Catatan Penulsis : (Siapa pun yang menjadi Presiden tidak menjadi masalah, karena pastilah tujuannya untuk mencerdaskan manusia INDONESIA, termasuk saya yang masih bego, karena seringkali  ASBUN).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar