Minggu, 23 Februari 2014

Martabak vs Martabat yg beradab

MARTABAK versus MARTABAT yg BERADAB

Martabak biarpun dibolak balik saat digoreng atau sesudah disajikan tetaplah martabak. Bila pun tidak habis disantap seketika dan dipisahkan untuk esok hari tidak akan berubah. Namanya tetap MARTABAK.

Lain halnya kalau kacang ijo dimasukkan ke kuping di malam hari, esok pagi pastilah sudah menjadi toge, dan siap mendampingi bakmi goreng di Jalan Cipto, Pematang Siantar. Begitu juga pisang monyet, meski pada dasarnya monyet tidak mengklaim itu pisangnya, tetapi jika sudah dilumeri dengan tepung lalu digoreng, otomatis namanya menjadi goring pisang.

Martabat, yg di kampungnya John Tery, disebut prestige, atau arti harfiahnya adalah tingkat harkat kemanusian, atau harga diri. Maka manusia di belakang martabat, disebut bermatabat, jika mempunyai martabat.

Seorang yang bermartabat assosiasinya adalah yang menjalankan nilai-nilai yang positif. Artinya, yang secara universal dia menjalankan Kebenaran. Kebenaran yang benar maksudnya. Bukan kebenaran yang dibenar-benarkan atau yang masih butuh pembenaran. Misalnya, seorang Kepala Desa yang dipilih oleh warga desanya oleh sebab ybs. menjalankan nilai-nilai yang ada di Kampung itu, dan bukan karena membeli suara, tetapi murni dari hatinurani warganya.

Kebenaran dan Hati Nurani

Secara psikologis, kemunafikan membuat orang tidak tenteram, karena sikapnya itu akan selalu bertentangan dengan kata hati nurani sendiri. Karena pada dasarnya, “ Kamu bisa membohongi orang lain selamanya, tetapi tidak pada diri sendiri.” Jadi, orang munafik itu sebetulnya hatinya selalu tertekan dan tidak menjalankan kebenaran. Mengapa? Hati Nurani, tidak mungkin menyuruh atau memerintah untuk melakukan sesuatu yang tidak benar. Mencuri, menyontek, menyogok atau menyuap pastilah tidak benar, dan tidak dapat diterima secara universal. Tentu saja, ini berlaku di zaman belum edan. Misalnya, seorang yang lulus ujian, karena menyontek, atau menduduki sebuah jabatan karena memberi upeti kepada atasan, atau yang paling anyar sebagai contoh adalah kasus Bupati Lebak yang disutradarai oleh Akil Muchtar pastilah bertentangan dengan Pendapat Umum.

Hati Nurani adalah Hakim yang kejam. Kejam karena tidak ada kompromi. Ibarat warna dia menentukan Hitam dan Putih. Tidak abu-abu. Kalau salah, chip yang tertatam di Hati Nurani, akan bergetar dengan vibra salah. Jika benar maka vibranya bergetar, Benar. Tidak ada kompromi. Karena itu, seorang pencuri yg menyembunyikan hasil curiannya di tempat yang aman sehingga tidak seorang pun manusia tahu, tetaplah si pencuri tahu persis tempat di mana barang itu disembunyikan. Dan Hati Nurani ybs. Akan mengatakan, itu salah, itu salah, itu salah.

Begitu juga dengan seorang penyuap untuk mendapatkan jabatan. Bahkan jika pun anak dan isterinya tidak tahu kalau jabatan itu diperoleh dari hasil menyuap atau membeli suara, tapi Hati Nurani ybs. dan yang menerima suap, pasti mengatakan itu : SALAH. Walaupun barangkali, (ini barangkali) mereka akan mencari software pembenar di Play Store, Sofware Politik, yang fungsinya bisa menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah dengan dalih : INI POLITIK. Tetapi, menurut hemat saya, tetaplah hal itu menjadi sejarah hitam bagi kehidupan yang bersangkutan, maaf, mungkin ini terlalu apriori, hal tersebut bukanlah perlakuan seorang yang BERADAB, apalagi nanti mengklaim, bahwa Jabatan diperoleh karena kehendak Yang Di Atas.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar