MARTABAK versus MARTABAT yg BERADAB
Martabak biarpun dibolak
balik saat digoreng atau sesudah disajikan tetaplah martabak. Bila pun
tidak habis disantap seketika dan dipisahkan untuk esok hari tidak akan
berubah. Namanya tetap MARTABAK.
Lain halnya kalau kacang ijo
dimasukkan ke kuping di malam hari, esok pagi pastilah sudah menjadi
toge, dan siap mendampingi bakmi goreng di Jalan Cipto, Pematang
Siantar. Begitu juga pisang monyet, meski pada dasarnya monyet tidak
mengklaim itu pisangnya, tetapi jika sudah dilumeri dengan tepung lalu
digoreng, otomatis namanya menjadi goring pisang.
Martabat, yg
di kampungnya John Tery, disebut prestige, atau arti harfiahnya adalah
tingkat harkat kemanusian, atau harga diri. Maka manusia di belakang
martabat, disebut bermatabat, jika mempunyai martabat.
Seorang yang
bermartabat assosiasinya adalah yang menjalankan nilai-nilai yang
positif. Artinya, yang secara universal dia menjalankan Kebenaran.
Kebenaran yang benar maksudnya. Bukan kebenaran yang dibenar-benarkan
atau yang masih butuh pembenaran. Misalnya, seorang Kepala Desa yang
dipilih oleh warga desanya oleh sebab ybs. menjalankan nilai-nilai yang
ada di Kampung itu, dan bukan karena membeli suara, tetapi murni dari
hatinurani warganya.
Kebenaran dan Hati Nurani
Secara
psikologis, kemunafikan membuat orang tidak tenteram, karena sikapnya
itu akan selalu bertentangan dengan kata hati nurani sendiri. Karena
pada dasarnya, “ Kamu bisa membohongi orang lain selamanya, tetapi
tidak pada diri sendiri.” Jadi, orang munafik itu sebetulnya hatinya
selalu tertekan dan tidak menjalankan kebenaran. Mengapa? Hati Nurani,
tidak mungkin menyuruh atau memerintah untuk melakukan sesuatu yang
tidak benar. Mencuri, menyontek, menyogok atau menyuap pastilah tidak
benar, dan tidak dapat diterima secara universal. Tentu saja, ini
berlaku di zaman belum edan. Misalnya, seorang yang lulus ujian, karena
menyontek, atau menduduki sebuah jabatan karena memberi upeti kepada
atasan, atau yang paling anyar sebagai contoh adalah kasus Bupati Lebak
yang disutradarai oleh Akil Muchtar pastilah bertentangan dengan
Pendapat Umum.
Hati Nurani adalah Hakim yang kejam. Kejam
karena tidak ada kompromi. Ibarat warna dia menentukan Hitam dan Putih.
Tidak abu-abu. Kalau salah, chip yang tertatam di Hati Nurani, akan
bergetar dengan vibra salah. Jika benar maka vibranya bergetar, Benar.
Tidak ada kompromi. Karena itu, seorang pencuri yg menyembunyikan hasil
curiannya di tempat yang aman sehingga tidak seorang pun manusia tahu,
tetaplah si pencuri tahu persis tempat di mana barang itu disembunyikan.
Dan Hati Nurani ybs. Akan mengatakan, itu salah, itu salah, itu salah.
Begitu juga dengan seorang penyuap untuk mendapatkan jabatan. Bahkan
jika pun anak dan isterinya tidak tahu kalau jabatan itu diperoleh dari
hasil menyuap atau membeli suara, tapi Hati Nurani ybs. dan yang
menerima suap, pasti mengatakan itu : SALAH. Walaupun barangkali, (ini
barangkali) mereka akan mencari software pembenar di Play Store, Sofware
Politik, yang fungsinya bisa menyalahkan yang benar dan membenarkan
yang salah dengan dalih : INI POLITIK. Tetapi, menurut hemat saya,
tetaplah hal itu menjadi sejarah hitam bagi kehidupan yang bersangkutan,
maaf, mungkin ini terlalu apriori, hal tersebut bukanlah perlakuan
seorang yang BERADAB, apalagi nanti mengklaim, bahwa Jabatan diperoleh
karena kehendak Yang Di Atas.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar