Dengarlah Hati Nurani
“ Harimau berbulu domba”.
Demikian status Lae kandung saya beberapa hari lalu di FBnya, yang segera dikomentari oleh rekan-rekannya; yang
berguyon ria sampai yang bernada serius. Rupanya, status ini ditujukan kepada
salah seorang tokoh yang mencalonkan diri menjadi cawapres mendampingi tokoh
yang sudah lebih dahulu popular. Cawapres ini rupanya, mengeluarkan slogan-slogan kerakyatan, demi
rakyat, yang padahal, selama ini sudah menjadi rahasia umum, dia adalah seorang
yang greedy—tamak, yang tidak
segan-segan membunuh perusahaan kompetitornya demi melancarkan ambisinya menjadi pengusaha nomor 1 di Indonesia.
Adakah Harimau berbulu Domba?
Sejatinya tidak
ada. Ini hanya sebuah perumpamaan yang ditujukan kepada seseorang yang pada dasarnya dia adalah “harimau”, tetapi memasangkan bulu “domba” di tubuhnya,
agar orang lain di sekitarnya tidak curiga, bahkan akan mendukung segala
tindakannya, yang padahal, setelah
tujuan tercapai, dia akan menjadi “harimau” yang akan memangsa apa saja di sekelilingnya dengan cara
yang sangat menakutkan dan mengerikan.
Tahun 2013-2014, sampai dengan selesai Pemilu Legislatif nanti, akan banyak bersiliweran, bukan hanya di Samosir, tetapi juga di tempat lain
“Harimau berbulu Domba”. Jika sebelumnya
untuk senyum pun sulit, tiba-tiba akan mudah senyum, tiba-tiba akan menjadi
dermawan, mendadak terlihat jadi orang suci, anti korupsi, anti konspirasi, dan
agak sosialis, serta tidak ragu-ragu mengepalkan tangan dengan leher tegak,
mengatakan, “Demi Rakyat…” Tujuannya jelas, agar rakyat menjadi simpati dan
ujung-ujungnya supaya menjatuhkan pilihan kepada yang bersangkutan.
Begitu juga nanti menjelang PilBup, calon-calon Bupati
dan Wakil Bupati, termasuk Tim Sukses di antaranya, mungkin juga menjadi “Harimau
berbulu Domba”. Jika sudah terpilih, maka kelihatanlah karakter yang
sebenarnya, dia adalah “Harimau.” Kita
sudah menyaksikan dengan kasat mata, Hutan Tele, Jalan-Jalan yang
berlubang-lubang, fasilitas umum yang terbengkalai di Samosir sebagai contoh sederhana.
Ada pepatah “Dang ditopot aek na soboruran—Air mengalir
ke saluran yang pas”, tentulah kita tidak bisa berprasangka, atau tidak lalu mengatakan si Anu atau si Binu itu menjadi baik, menjadi penderma,
atau menjadi rajin beribadah dan mengkhotbai, supaya nanti dipilih atau terpilih, dan kela, pasti juga menjadi “Harimau”. Tidak!
Kendati saat ini di Samosir berkembang pendapat tentang
si Anu begini dan si Binu begitu, yang bahasa negatifnya, satu dengan yang lain saling melakukan
“pembusukan” dalam rangka persaingan rangaka bersaing tentunya, tetapi pada dasarnya, “Tarida do hau sian
parbuena”.
Kita menyadari, kini, Dunia tidak lagi ada batasnya, camera ada di mana-mana, “Nunga patar songon indahan di balanga”. Tidak ada yang bisa ditutup-tutupi. Maka membela diri kendati masih perlu, tapi yang pasti, mata dan matahati masyarakat tidak bisa lagi dibohongi, dan pembelaan diri sebernnya adalah kesia-siaan. Belalah diri anda dengan perbuatan, karena rakyat sudah bisa menjadi hakim yang baik. Kecuali itu, tanpa bermaksud mengajari, sebenarnya, Hatinurani anda, adalah hakim yang tertinggi. Sehingga, hua haha, kalau anda bertanya pada HATINURANI anda, dan dijawabnya, tidak usah maju, maka berhentilah untuk maju, tidak usah dipaksakan.
Kita menyadari, kini, Dunia tidak lagi ada batasnya, camera ada di mana-mana, “Nunga patar songon indahan di balanga”. Tidak ada yang bisa ditutup-tutupi. Maka membela diri kendati masih perlu, tapi yang pasti, mata dan matahati masyarakat tidak bisa lagi dibohongi, dan pembelaan diri sebernnya adalah kesia-siaan. Belalah diri anda dengan perbuatan, karena rakyat sudah bisa menjadi hakim yang baik. Kecuali itu, tanpa bermaksud mengajari, sebenarnya, Hatinurani anda, adalah hakim yang tertinggi. Sehingga, hua haha, kalau anda bertanya pada HATINURANI anda, dan dijawabnya, tidak usah maju, maka berhentilah untuk maju, tidak usah dipaksakan.
***(Salam hangat untuk Samosir kiTA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar