Selasa, 25 Februari 2014

Bulu Domba Asli atau Sepuhan?



Dengarlah Hati Nurani
“ Harimau berbulu domba”.  Demikian status Lae kandung saya beberapa hari lalu di FBnya,  yang segera dikomentari oleh rekan-rekannya; yang berguyon ria sampai yang bernada serius. Rupanya, status ini ditujukan kepada salah seorang tokoh yang mencalonkan diri menjadi cawapres mendampingi tokoh yang sudah lebih dahulu popular. Cawapres ini rupanya,  mengeluarkan slogan-slogan kerakyatan, demi rakyat, yang padahal, selama ini sudah menjadi rahasia umum, dia adalah seorang yang  greedy—tamak, yang tidak segan-segan membunuh perusahaan kompetitornya demi melancarkan ambisinya  menjadi pengusaha nomor 1 di Indonesia.
Adakah Harimau berbulu Domba?
 Sejatinya tidak ada. Ini hanya sebuah perumpamaan yang ditujukan kepada seseorang yang  pada dasarnya dia adalah  “harimau”,  tetapi memasangkan bulu “domba” di tubuhnya, agar orang lain di sekitarnya tidak curiga, bahkan akan mendukung segala tindakannya, yang padahal,  setelah tujuan tercapai, dia akan menjadi “harimau” yang akan  memangsa apa saja di sekelilingnya dengan cara yang sangat menakutkan dan mengerikan.
Tahun 2013-2014, sampai dengan selesai Pemilu Legislatif nanti, akan banyak bersiliweran, bukan hanya di Samosir, tetapi juga di tempat lain “Harimau berbulu Domba”.  Jika sebelumnya untuk senyum pun sulit, tiba-tiba akan mudah senyum, tiba-tiba akan menjadi dermawan, mendadak terlihat jadi orang suci, anti korupsi, anti konspirasi, dan agak sosialis, serta tidak ragu-ragu mengepalkan tangan dengan leher tegak, mengatakan, “Demi Rakyat…” Tujuannya jelas, agar rakyat menjadi simpati dan  ujung-ujungnya supaya menjatuhkan pilihan kepada yang bersangkutan.
Begitu juga nanti menjelang PilBup, calon-calon Bupati dan Wakil Bupati, termasuk Tim Sukses di antaranya,  mungkin juga menjadi “Harimau berbulu Domba”. Jika sudah terpilih, maka kelihatanlah karakter yang sebenarnya,  dia adalah “Harimau.” Kita sudah menyaksikan dengan kasat mata, Hutan Tele, Jalan-Jalan yang berlubang-lubang, fasilitas umum yang terbengkalai di Samosir sebagai contoh sederhana.
Ada pepatah “Dang ditopot aek na soboruran—Air mengalir ke saluran yang pas”, tentulah kita tidak bisa berprasangka, atau tidak lalu mengatakan si Anu atau si Binu itu menjadi baik, menjadi penderma, atau menjadi rajin beribadah dan mengkhotbai, supaya nanti dipilih atau terpilih, dan kela,  pasti juga menjadi  “Harimau”. Tidak!
Kendati saat ini di Samosir berkembang pendapat tentang si Anu begini dan si Binu begitu, yang bahasa negatifnya, satu dengan yang lain saling melakukan “pembusukan” dalam rangka persaingan rangaka bersaing tentunya, tetapi pada dasarnya, “Tarida do hau sian parbuena”.
 Kita menyadari, kini, Dunia tidak lagi ada batasnya, camera ada di mana-mana, “Nunga patar songon indahan di balanga”. Tidak ada yang bisa ditutup-tutupi. Maka membela diri  kendati masih perlu, tapi yang pasti,  mata dan matahati masyarakat tidak bisa lagi dibohongi,  dan pembelaan diri sebernnya adalah kesia-siaan. Belalah diri anda dengan perbuatan, karena rakyat sudah bisa menjadi hakim yang baik. Kecuali itu, tanpa bermaksud mengajari, sebenarnya,   Hatinurani anda, adalah hakim yang tertinggi. Sehingga, hua haha, kalau anda bertanya pada HATINURANI anda,  dan dijawabnya, tidak usah maju,  maka berhentilah untuk maju, tidak usah dipaksakan.
***(Salam hangat untuk Samosir kiTA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar