Banjir Bandang Manado Dan Sikap Warga Samosir
Tercatat hingga sore ini Sabtu (18/1)
Banjir di Manado menelelan korban jiwa, 18 orang meninggal dunia, 2 orang
hilang dan ditaksir kerugian material, triliunan rupiah. Dibutuhkan dana yang
cukup besar dan waktu yang relatif panjang untuk memulihkan keadaan kota Menado
dan sekitarnya.
Banjir Bandang, tentu tidak terjadi
tiba-tiba. Ada penyebab atau Hukum Causa—sebab–akibat terjadinya banjir
tersebut. Tapi bagi orang yang menelan bulat-bulat defenisi Takdir, tentu akan
mengatakan, “Alam murka dan pasti ini kehendak Allah.”
Alam memang murka. Siapa yang tidak
murka, kalau dalam kurun waktu yang lama, selalu dijahili? Ada yang menikam
perutnya, ada yang menggergaji lengannya, ada yang memenggal kakinya, sehingga
karena terlalu perih dan tak sanggup lagi menahan kekejian orang-orang tamak di
sekitarnya, dia pun murka dengan cara, meniupkan puting beliung, memuntahkan
air, batu, dan segala yang ada diperutnya. Banjir menerpa…
BANJIR PANGURURAN
Tahun 2004, Kota Pangururan,
ibukotanya Samosir, diterjang air. Puluhan tahun sebelumnya penulis menjadi
saksi hidup, Kota Simbolon, kurang lebih 15 km dari Pangururan, habis diterjang
air bah. Dan masih segar dalam benak, Kota Sabulan, menangis terisak-isak,
karena longsor menghantam; kecuali harta benda yang lenyap, juga memberi pilu yang tak terkira, karena
beberapa jiwa lebih cepat menghadap Bapanya di Surga akibat kejadian itu.
Dari cerita yang berkembang, petaka
di tiga kejadian; Kota Pangururan, Simbolon dan Sabulan terjadi, karena terjadi
penebangan hutan di Hulu dilakukan secara besar-besaran puluhan tahun
sebelumnya. Resapan untuk menadah air hujan dari langit menjadi hilang, karena
tanah tidak lagi dihuni oleh pohon, yang seperti kita tahu semua, akar pohon
adalah perajut tanah dan batuan yang ada di sekitarnya.
HUTAN TELE
Kita tidak bermaksud membela Wilmar
Eliaser Simajorang , dan menempatkannya sebagai Pahlawan. Tidak. Tetapi
konsentrasi dan kemauannya untuk terus-menerus mengajak masyarakat Samosir
menolak pembalakan Hutan Tele sepatutnya diapresiasi oleh warga Samosir, baik
yang sudah merantau, terutama yang masih tinggal dan menetap di Sana. Di
usianya yang sudah renta, bahkan sebutlah sudah bau tanah, bisa saja memilih
diam dan membiarkan Hutan itu ditebang. Wilmar, bisa berucap, “Emang gue pikirin?” Dia bisa
beralasan, disisa hidupnya, belum tentu akan merasakan banjir atau longsor.
Amannya, Wilmar, bisa memilih tinggal
di Rantau untuk menikmati sisa hidupnya. Tapi dia tidak melakukan itu. Dia dia
memilih berjuang, dan menggadaikan lehernya, karena mungkin, dia sangat
membayangkan, betapa pedihnya akibat yang dirasakan anak-cucu warga Samosir 10
atau 15 tahun lagi. Kita tentu sepakat, akibat penebangan yang terjadi kini,
yang ijinnya ditandatangani langsung oleh Mangindar Simbolon, bukanlah
sekarang, tapi nanti.
Sekarang, Menteri KLH sudah turun
tangan. Sebagian besar anggota Komisi VII mengatakan, haram hukumnya menebang
hutan TELE, malah yang harus dilakukan di Samosir dan kawasannya adalah
menghutankan lahan yang gundul, agar Samosir dan Danau Toba tetap lestari.
Sebab, hanya dengan melestarikan hutan di kawasan Samosir, Danau Toba lestari
dan ekosistem bumi terjaga.
Kalau demikian halnya, adakah kita
peduli, diam membisu, bertindak, atau
memutuskan untuk diam karena mulut telah disumbat dengan ringgit sitio suara oleh pembalak? Atau kita angkat senjata saja,
dan atau membawa mereka ke Ranah Hukum?.
***
Penulis
adalah Direktur Eksekutif, Forum Pemermati Penerbitan Pers Indonesia
(FPPPI)—tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar