FARHAT ABAS, BEDAK DAN BADAK
Bedak dan Badak, hanyalah benda.
Yang satu benda mati, satunya lagi benda hidup mewakili para hewan dalam
tulisan ini. Bedak tidak bernafas, tentu saja tidak memiliki pikiran.
Karena tidak memiliki pikiran, maka tentu saja tidak bermoral. Badak,
kendati benda hidup, tapi tidak memiliki pikiran. Karena itu,
kesimpulannya, badak juga tidak bermoral.
Sejatinya, kecuali
manusia tidak ada yang bermoral di bumi ini. Mayat pun tidak lagi
bermoral karena tidak lagi berpikir. Dan berani bertaruh dengan SUMPAH
POCONG, hanya manusialah yang memiliki moral.
Manusia yang
dibedaki atau yang menggunakannya, sudah pasti tujuannya agar terlihat
lebih cantik, dan supaya teman yang duduk di sebelah, mencicipi bau
harumnya. Dapat disimpulkan, seorang yang menggunakan bedak, pasti
bukan seorang yang egois, karena selalu berusaha agar orang lain senang;
baik untuk kecantikan maupun bau harum yang dipancarkan. Coba seorang
wanita datang ke pertemuan, dengan wajah belekan dan tubuhnya
memancarkan aroma terasi, pastilah yang lain akan menutup hidung dan
akan berusaha menjauh.
Bedak jika dipakai oleh wanita memang
memberi nilai. Tapi jika seorang pria menggunakannya, pastilah akan
menimbulkan pertanyaan. Apalagi jika seekor badak menggunakan bedak,
pasti akan menghebohkan dunia perbinatangan.
Muka dibedaki,
dan muka badak, adalah dua hal yang berbeda. Jika seseorang disebut
“Muka Badak”, konotasinya adalah seorang yang tidak tahu malu. Ini bisa
berlaku secara universal, bagi pria maupun wanita. Contoh sederhana yang
bisa dilabeli bermuka badak, ialah seorang Koruptor yang masih
cengengesan tampil di layar kaca, atau seperti si Farhat Abas yang dalam
Konperensi Pers, menyampaikan bahwa dia pernah hampir pingsan, karena
si Nia Daniati, maaf, meremas pelernya sekeras-kerasnya dan mengigit
anunya.
Personal lain, yang mungkin bisa disebut bermuka badak,
ialah seorang yang gagal jadi Gubernur, lalu mencalonkan diri jadi
Bupati. Gagal jadi Bupati, mencalonkan diri jadi Kepala Desa, dan gagal
pula. Lalu karena ada Partai yang kekurangan Caleg, mendaftar pula
menjadi Caleg, dan mengklaim dapat dukungan dari Warga sekampung dan
para jemaat gereja.
Contoh lain ialah, personal yang nyaleg
dengan mengalaskan “Wangsit” dari leluhur, demi Hasangapon ni Marga
dan Keluarga Besar. Dia pun mengatakan, keluarga atau yang semarga,
wajib hukumnya menjatuhkan pilihan padanya, dan bila mungkin ikut
saueran untuk membeli suara. Jika tidak, leluhur akan mengutuk.
Di
era kini, secara tidak sadar, mungkin karena zaman, banyak juga di
antara kita yang tidak menyadari, bahwa kita sedang bermuka badak.
Lihatlah misalnya disebuah perhelatan, di ulaon Unjuk misalnya. Jika
berpangkat Jendral atau menjadi Pengusaha Nasional atau kalau menjadi
Ketua Umum sebuah Partai, kalau datang ke pesta, kendati dalam struktur
Dalihan Na Tolu, statusnya sebagai boru, bisa disambut bagai Hula-hula.
Ada yang mengatakan, hal itu sebagai bentuk Priveledge—Hak Istimewa,
dengan mengatakan, “Tak pantaslah seorang Jendral—Pengusaha
Nasional—Ketua Umum Partai, menyediakan cuci tangan untuk supir
angkot.”
Ambil contoh, kalau SBY datang ke Pesta marga Pohan.
Dalam Dalihan Na Tolu, dia adalah Boru yang seharusnya bertidak sebagai
Parhobas—Pelayan. Tapi jika ditempatkan di sebuah kursi khusus, disambut
pula dengan tari-tarian, yang padahal tugasnya pada saat itu, ini
seharusnya, menyediakan cuci tangan dan konsumsi kepada para tamu, dan
terutama ke marga Pohan, maka dalam hal ini SBY bisa dilabeli bermuka
badak yaitu oknuk yang tak tahu menempatkan diri.
Untungnya,
saya belum pernah melihat SBY di sebuah pesta Marga Pohan dan
berperilaku bagai Hula-Hula. Kalau satu ketika itu terjadi, dan saya ada
di sana, saya akan bisikkan ke telinganya, “Unang songoni Amang.
Parhobas do hamu di son. Boto otik samban. Nang pe sude biaya sian ho,
ingotonmu do, marga Pohan do Suhut di son”. Kalau SBY tidak mau
mendengar saya akan rampas microphone dari Raja Pangaris, dan akan
menyemburkan kata-kata, “Muka Badak, lho!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar