Selasa, 18 Maret 2014

Detik Terakhir

DETIK TERAKHIR 

“Menyodorkan ‘namargoar’ atau makanan ke orang tua dengan kaki, memang kenapa?” ujarku dengan nada tinggi kepada rekan diskusi, yang langsung disambut dengan nada tinggi pula oleh peserta lain, “ Itu tidak sopan! Kualat. Dan melanggar salah satu dari 10 Perintah Tuhan.”

“Menurutmu itu tidak sopan. Anak TK juga tau. Barangkali orang gila juga bisa berpendapat sama dengan kalian,” jawabku lagi, tetap dengan nada tinggi, agar suasana diskusi tetap hangat, dan agar tujuan menjelaskan topik, tercapai.

“Silahkan anda berbuat begitu. Tapi rasanya anda perlu memeriksa otak anda, baik yang kiri, maupun yang kanan,barangkali saja sudah ada urat syarafnya yang sudah putus,” ujar seorang perserta dengan geram, bahkan hampir maju mau menonjok wajah saya, karena merasa saya sudah ke luar dari tatanan.

“ Tunggu dulu, anda jangan emosi!”

“Bagaimana tidak emosi, Bung! Kita ini sedang diskusi agar segala sesuatunya mengarah kepada yang benar, dan mencegah penyimpangan atau ulah yang tidak lagi bersandar kepada norma yang ada. Tapi malah sebaliknya, anda menyebut, bahwa ‘tidak masalah menyodorkan makanan kepada orang tua, dengan menggunakan kaki’. Pikiran sampahnya itu. Maka kalau bissaara jangan ASBUN dong!”

Saya ngakak. Tertawa. Dan ini juga agar emosi peserta tetap meninggi. Biasanya, orang yang emosinya meninggi, maka tingkat penerimaannya menjadi sempurna, kalau dia mendapatkan keterangan yang masuk akal dan benar. Dan lazimnya, orang seperti itu, bagus untuk dibina menjadi kader, untuk menularkan segala sesuatu ke orang lain.

“Begini. Anda mengatakan, itu salah, tidak sopan, tidak santun, bahkan sudah melanggar salah satu ayat dari 10 Perintah Tuhan. Okelah. Tapi ini benar-benar saya lihat dan terjadi. Bahkan kedua mertuanya yang menerima tudu-tudu sipanganon itu, berserta semua yang hadir terharu. Ada juga yang sesenggukan, menangis, ” paparku, mulai dengan nada suara yang sedang-sedang saja.

“Ah, mana mungkin. Dan itu pasti khayalan anda saja!”

“Terserah. Tapi itu benar-benar terjadi. Dan barangkali, itulah yang dimaksud dengan ‘There is no rule without an exception’—Selalu ada kekecualian dalam hidup ini.”

“ Maksudnya?”

“Kejadiannya begini. Dia dan isterinya didampingi dua anaknya datang ‘marsomba’ ke mertuanya, dengan membawa makanan. Makanan yang ‘martudu-tudu’. Anda tahu, kedua tangan pria ini buntung. Itu sudah dibawa lahir. Dengan didahului kata, ‘sattabi’ dia menyodorkan namargoar itu dengan kaki kanannya, dan berujar, ‘otik sosadia nahuboan hami on amang, godang so sipujion, sai ditumpahi Debata ma hamu massagaphon lompan on’. Itulah kejadiannya.”

“ Oh, begitu toh?!”

“Begitulah. Dan saya kira, di setiap kehidupan itu bisa terjadi. Kalian pasti pernah mendengar juga, ‘boleh membunuh’ dan KUHP tidak menghukumnya, dengan alasan pembunuhan yang dilakukan murni karena KEADAAN TERPAKSA. Jadi, kalau hanya soal Joko Widodo diCapreskan oleh Megawati dan dia harus digugat karena sebuah perjanjian, yah sudahlah…Lanjut trus. Sebab realitas yang ada lah ‘memaksa’ Megawati melakukannya. Dia harus tunduk kepada rakyat. Bukan kepada ‘Perjanjian’ itu. Dan yang lain, tidak perlu memperkeruh suasana yang membuat masyarakat menjadi antipati. Singsingkan lengan, majulah, dan katakan, ‘Mas Joko, kita bertarung. Kita buktikan, siapa di natara kita yang lebih dicintai masyarakat’, bukankah begitu?”

“ Yah, masuk akal sih! Tapi…”

“Tidak ada TETAPI lagi, Bung! Kita harus menatap masa datang, dan bukan menoleh terus ke belakang, nanti tidak maju-maju. Kita topang siapa pun yang akan jadi Presiden. Tapi untuk kali ini, saya memilih JOKO WIDODO/Luhut Binsar Panjaitan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar