Senin, 27 Juli 2015

U A N G
(oleh : Laris Naibaho)
***
(Edisi Membangun TOILET UNTUK Kaum Duafa)

“Uang tidak bermoral,” titik. Hanya manusialah yang bermoral dari seluruh ciptaan Tuhan. Uang hanyalah benda mati. Harkatnya sama dengan belati, sangkur, kue bolu, kombang layang, dodol, lemper, mie gomak, pangsit, sate, panggang b2, sibagur, naniura dan atau benda-benda lainnya.
Uang tidak dibutuhkan oleh kambing, be-satu (B1), be-dua(B2), kerbau, sapi juga monyet, walaupun sejatinya semua yang tersebut di atas, bisa dijadikan alat atau diobjekkan untuk mendapatkan uang.

Hua haha—mekkel ma jo au. Jadi hanya manusia yang membutuhkan uang. Yah, hanya manusia saja, tanpa kecuali. Maka kalau ada manusia yang anda temui, lalu mengatakan tidak membutuhkan uang, mungkin sudah perlu ditanya lebih dalam, mengapa ybs. tidak membutuhkannya. Karena secara umum, tua-muda, yang bergigi atau yang ompong, wanita atau pria, yang kaya atau miskin, yang merasa suci dan yang mengaku jahat, yah, sekali lagi, ini tanpa kecuali, pasti membutuhkannya. Karena uang itu sudah disepakati manusia sebagai alat tukar, termasuk alat menghitung jumlah kekayaan dan alat untuk segala sesuatunya, termasuk sebagai alat untuk membayar ber-ehem, ehem!

So pasti, uang itu tidak berdosa. Dia hanya sebagai alat. Sebagai alat, berarti uang itu tidak menjadi apa-apa, kalau tidak ada manusia yang mengendalikannya. Harus ada manusia—The men behind UANG. Dan itulah persoalan pokok dalam episode ini, “Siapa di belakang uang itu?”
Sebelum lebih lanjut, saya ingin mengutip sebuah kalimat, yang berbunyi begini, “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang . Dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya.”

Wakakak. Bener deh! Sumpah mati, kutipan ini sungguh-sungguh menohok pikiran saya. Weleh-weleh. Ini bisa jadi sama dan sebangun dengan apa yang dibilang Om saya, “Keingingan memiliki uang bisa diibaratkan seperti meminum air laut. Semakin diminum maka akan semakin dahaga.”

Om—Bapa Uda saya ini, pastilah benar! Meskipun saya melihat, di usianya yang sudah bau tanah, masih juga tak mau bersedekah ke keluarganya, kendati uang dan hartanya angkanya sudah 13 digit. Dia menegaskan pula perbedaan minum air laut dan air tawar. “Air tawar, jika diminyum—logatnya agak lain, karena sudah ompong—maksudnya diminum, bisa membunuh dahaga serta menjadikan tubuh kuat dan berenergi.” Tapi omong doang. Pelit jalan trus.

Kembali ke topik.

Apakah uang berdosa? Jawabannya, pasti tidak. Sekali lagi uang itu hanya benda yang tidak punya pikiran. Dia tidak berdosa.
Hayaa—beginilah Chong Kin Ngauwn kalau lagi heran. Jadi sebenarnya, tidak ada uang haram atau uang halal. Yang ada, adalah sumbernya dan tujuannya; halalkah, atau haramkah?

Ini memang, sangat tergantung juga cara pandang seseorang. Jelimet deh! Karena itu, saya tegaskan—hehehe, emang gue siapa sampai berani menegaskan? Saya tegaskan, hanya mahluk yang punya pikiran saja yang bisa berdosa atau suci. Singkatnya, di muka bumi yang bundar ini, hanya manusia yang bisa dilabeli, seorang yang berdosa atau seorang yang suci.

Uang ada pada kendali manusia. Bukan manusia yang dikendalikan oleh uang. Ini pasti. Jika ada yang protes, nanti saya usahakan membangunkan Socrates, atau muridnya yang baru meraih S3-Filsafat dari Jerman, yang kawan akrabnya F.M, Suseno. Karena itu, persoalan pokoknya adalah “Siapa di belakang uang itu?”

Ini dia.

Kalau si Billok yang punya uang, apalagi banyak, maka pikirannya adalah mencari teman untuk berangkat ke lokalisasi perjudian, semisal, ke High Genting, Malaysia, atau ke Makao, Texas atau tempat lainnya yang ada di luar negeri sana. Maaf, dia terpaksa ke luar negeri karena di Indonesia, berjudi itu tidak boleh. Haram. Tapi kalau kalau korupsi tidak haram, selama tidak ketahuan.

Beda kalau si Tolbok yang punya banyak uang. Dia, bisa dipastikan akan nyabu atau mabok-mabokan. Dan yang paling disukainya adalah “menyewa” gadis-gadis belia sebagai pelampiasan syahwat, atau hanya sekedar nyolak-nyolek. Yang penting hepi…!

Yang menyeramkan—sampai merinding bulu kumisku, kalau si Bikkas yang punya uang. Di otaknya adalah segera berangkat ke ke Libya untuk membeli senjata. Selanjutnya, senjata itu akan dipakai untuk menembaki tetangganya sampai hancur berkeping-keping dan mati. Dendamnya sudah membara. Soalnya, setiap kali dia meminjam uang ke tetangganya itu, tak pernah berhasil. Sudah tidak berhasil, dia selalu disemprot dengan kata-kata yang melukai hati. “Dasar malas. Sudah miskin, malasnya kayak keong bunting, cari suami tambahan.”

Tetapi si Jabaik—ini dia yang membuat penulis masih setia di dunia ini. Setiap kali dia punya uang, yang dilakukannya adalah meminta saudaranya pemilik Catering TABOHIAN, untuk membeli bahan-bahan makanan, memasaknya,  dan kemudian membagi-bagikannya ke kaum dhuafa atau si miskin. Tak mewah-mewah amat memang makanan yang disajikannya, paling juga lauknya sepotong ayam goreng plus tempe yang dioseng-oseng, yang, TETAPI—hehe he, asal tahu saja, makanan seperti itu, jangan salah sangka, merupakan makanan mewah bagi kaum yang, “sebenarnya hidup sudah segan, tapi ogah mati dengan cara bunuh diri.”

Si Jauhum juga begitu. Dia kerja keras setiap harinya. Berangkat pagi hari, baru pulang hampir tengah malam—ini membuat hati trenyuh dan ingin meneteskan air mata tanpa bantuan bawang merah. Uang yang didapatkannya, hanya agar dia bisa membayar SPP anak-anak sekolah dan mahasiswa yang bukan anaknya.

Beda lagi dengan si Japikkir—bukan marga Naibaho, yang selama 67 tahun pontang-panting mengumpulkan uang, pelitnya tidak tanggung-tanggung. Tidak hanya untuk orang lain dia pelit. Termasuk juga kepada dirinya. Buktinya, kalau masih mungkin makan nasi basi kemarin, itu akan dilahapnya untuk memenuhi kebutuhan perutnya, daripada harus membuka dompetnya. Dia akan membela diri, “Perut tidak akan pilah-pilah makanan yang masuk. Enaknya makanan, hanya di bibir dan tenggorokan. Tak sampai hitungan menit. Yang penting, perut kenyang.”

Tapi Anda akan bingung luar binasa, eh, salah ketik, maksudnya bingung luar biasa, jika anda tahu apa rencananya di tahun 2015 ini. Sudah ditetapkannya pergi ke Notaris untuk membuat SURAT WASIAT, bahwa seluruh uang dan hartanya yang lain, akan menjadi milik anjingnya si Bleki. Menjijikkan bukan?—Tubu ma rohakku, mambaen tanggo-tanggo, manang mananggohon si Bleki i daba!

Tapi, mau apalagi? Tidak ada hak saya untuk memprotes. Uang, uang dia. Harta, harta dia. Yah, terserah dialah. Alasannya, sangat sederhana. Orang – orang yang pernah dibantunya, tidak ada yang mengingatnya, bahkan cendrung menyakitinya. Beda katanya dengan si Bleki, yang setia menjilat-jilat pipinya kalau dia hendak tidur, dan menjaganya hingga pagi menjemput, serta, menurut pengakuannya lagi nih, selama ini, si Bleki belum pernah berbohong kepadanya.

Kita lanjutkan…

Tapi sebelum itu, ijinkan saya mengajak anda tersenyum. Senyumlah! Sejenak saja. Tidak usah ragu. Saya tidak bermaksud apa-apa. Tidak juga sedang menghipnotis anda. Saya bukan si Botak, pesulap di layar kaca itu. Bukan. Ajakan ini sekali lagi, bukan untuk apa-apa. Sekiranya anda tidak mau, juga tidak apa-apa. Tapi kelak anda pasti menyesal. Karena senyum tidak ada dandonya—sanksinya. Beda jika anda tertawa, Perarutan Menteri Kesehatan Negara Komedi-Senyum, sudah menetapkan sanksi untuk yang tertawa, kecuali untuk penulis cerita ini. Sorry, di mana-mana pun ada HAK ISTIMEWA. Percayalah, senyum itu bagus bagi kesehatan. Itu kata ahli kesehatan. Dan temanku yang juru rias Megawati dari Salon Martabe, memastikan, “Senyum dapat memperindah letak bibir anda.”

Dengan senyum, apakah saat ini anda punya uang, atau tidak, akan lebih mudah bagi anda untuk membuat rencana secara diam-diam. Katanya, “Seseorang dalam keadaan senyum berarti hatinya sedang ber-bungah, dan pikirannya sangat inspiratif untuk melakukan sesuatu…” Benar atau tidak, ntahlah. Tapi cobalah. Kata Ompungku, Tulangnya Inong dari neneknya yang marpariban dengan neneknya nenek, “Mencoba tidak mengapa. Memberanikan diri janganlah!” Bukankah juga ada encik kita mengatakan—ini dulu, “the experience is the best teacher”. Jadi Senyumlah!
Kini boleh selidiki setelah anda senyum. Periksalah melalui cermin. Kalau anda ibu-ibu, pasti ada terselip cermin kecil ditutup bedak yang ada di tas anda. Kalau anda bapak-bapak, pergilah ke parkiran sebentar, bercerminlah lewat spion mobil atau sepeda motor yang ada di parkiran. Lihatlah! Waooo, mengagumkan!

Akibat senyum tadi, kecuali anda terlihat cantik atau cakep, pun terlihat menjadi sedikit lebih cantik dibandingkan anda cembrut. Otak anda pun menjadi lepas, dan langsung bisa menerawang lebih jauh,

• akan melakukan begini atau begitu kalau punya uang.
Atau
• akan melakukan ini atau itu, supaya punya uang—karena saat ini anda sedang bokek, tongpes atau melarat.
Mengagumkan bukan?

Terserah anda nantinya, akan melakukan apa kalau sudah punya uang. Saya ulangi yang tertulis di atas, "Uang tidak bermoral dan tidak akan pernah berdosa.” Dia hanya sepotong koin atau selembar kertas yang ditaruh angka-angka untuk menunjukkan nilai tukarnya. Anda akan dikatakan kaya atau sangat kaya kalau banyak uang. Sebaliknya disebut miskin, atau sangat melarat, kalau hanya memiliki sedikit uang atau tidak memiliki uang sama sekali. Memang—ini kata tukang protes, bukan kataku, “kaya atau miskin itu, sangatlah relatif”. Soal lainlah itu. Tapi tetap mengajukan pertanyaan kepada anda, dan jujurlah menjawab, tanpa ada pemaksaan dari Hakim—Jaksa—Polisi—Pengacara, (tidak ada gunanya, karena sedang digaruk oleh KPK) :

• Apakah uang itu akan anda pergunakan untuk menyenangkan hati manusia yang berujung pada memuliakan Tuhan?
Atau
• akan anda gunakan untuk menganiaya manusia, yang menyebabkan Tuhan akan menangis?”
Itulah soalnya.

Soal ini penting bagi kita, karena siapa tahu dari kemarin, anda belum tahu harus anda ke manakan jika memiliki uang banyak—Wakakak. Tapi dan ini bukan nasehat, saat ini banyak penipu berkeliaran di luar sana dengan macam-macam modus. Kalau punya uang di Bank dan anda memiliki ATM, jangan beritahu PIN-nya kepada siapa pun, kecuali kepada saya, karena saya tidak mungkin mengambilnya diam-diam. Mengapa? Periksalah dompet atau tas anda, ATMnya masih di sana.
***
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar