Senin, 27 Juli 2015

Dior-dior

BUKAN SEKEDAR NONING vs HOHAT

Miskin itu tidak dosa.

Tapi miskin berpotensi menimbulkan dosa. Bukan apa-apa, jika perut lapar karena tidak punya uang, maka niat mencuri makanan untuk mengisi perut akan muncul, dan mungkin mencuri menjadi salah satu pilihan, kalau ke sana-sini tidak ada lagi yang bersedia memberi makanan

Umar bin al-Khattab Penguasa di zaman dulu, membebaskan seorang pencuri dari hukuman, jika mencuri makanan hanya sebatas mengisi perutnya pada saat itu dan memakan makanan itu di tempat itu pula. Tapi jika ybs membawa makanan ke tempat lain, dengan maksud untuk persediaan perutnya ketika lapar lagi, maka kepadanya dikenakan SANKSI oleh Penguasa, dengan cara memotong jari tangan pelaku.
***
Mengemis, memang bukanlah perbuatan mulia. Tentu saja, jika pengemisan dilakukan oleh latar kemalasan bekerja untuk mendapatkan hasil. Dan tampaknya, sudah semacam konsensus, di mana hampir semua orang menghinakan orang yang melakukan pekerjaan ini. Tapi sekedar informasi—saya lupa namanya, dulu, seorang kaya raya dari USA, menghibahkan semua hartanya ke sebuah lembaga yang menyantuni orang miskin dan setelah itu, dia bermigrasi ke Siam dan menjadi pengemis di sana.

Agak ekstrim, jika ada pula yang memberi pendapat, “Pengemis adalah orang yang telah melempangkan jalan seorang kaya ke Surga.” Tetapi itulah adanya. Ini memang masih debatable. Namun, siapakah yang menjadi tampak Mulia, jika tidak pernah memberi? Maka, jangan-jangan, Tuhan tidak membuat semua orang menjadi, kaya, cerdas, tapi, juga membuat sebagian orang menjadi, miskin, lemah, bodoh, agar tercipta dan terlihat keseimbangan. Jangan-jangan pulak, bila keseimbangan ada, di situlah ada KEADILAN?

Dulu, ketika saya masih aktif di salah satu Yayasan binaan Penerbit Media Cetak, saya diingatkan oleh seorang kawan, agar tidak terlalu banyak gagasan, ide, atau yang semacam dengan itu. Alasannya, kalau ide yang dilontarkan tidak terealisir, akan membuat malu dan mengurangi kepercayaan orang lain. “Lagi pula, kita jangan terkesan menjadi pengemis atau jangan menjadi capek karena harus mengemis ke sana-sini,” katanya saat itu.

Waktu itu, saya tidak terlalu tanggapi, bahkan lebih tepat, tidak peduli. Saya tidak mungkin membekukan otak, yang tugasnya, memang adalah untuk berpikir terus, dan terus berpikir. Apalagi, sudah saya yakini, kalau berani membuat sesuatu, atau jika ingin menjadi sesuatu, maka tidak mungkin bisa menghindarkan diri, dari menjadi seorang, “pengemis”. Itulah resiko yang harus dipikul.

Analogi dengan keadaan terkini, para peserta Cabup yang bertarung di Pilkada serentak Desember 2015 ini, mau tidak mau, terima tidak terima, pada dasarnya para kandidat akan melakukan pengemisan, yaitu MENGEMIS HATI MASYARAKAT PEMILIH, dengan cara apa pun itu. Mereka yang melakukan pengemisan ini, tentu tidak menjadi terhina, karena tujuannya bukan untuk mendapatkan sekerat daging, sebotol tuak, atau sehelai sarung. Tujuannya jelas, PILIHLAH AKU DAN BUKAN YANG LAIN.

Jadi, tidak usah takut jadi pengemis. Dan tidak perlu malu mengemis. Mengemis bukanlah dosa. Bahkan harus bangga kalau bisa melakukannya, asalkan hasil pengemisan itu tidak dimanipulasi untuk kepentingan diri sendiri, atau bantuan yang sedianya adalah sosial tapi dikerat untuk bisa kawin lagi, atau digunakan belanja-belanja untuk kemakmuran diri-sendiri dan keluarga.
***
(Semoga Bansos di Sumut segera terang benderang. Kiranya di Samosir, tidak terjadi seperti di Propinsi.—AMANLAH Samosirku).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar