(edisi Pilbup)
----
BUDI PEKERTI DAN GENERASI PENERUS SAMOSIR
Kacang ijo melahirkan toge. Tetapi buah semangka tidak mungkin berdaun
sirih. Kalau pun ada, itu hanya ada dalam lagunya Broery Pesolima
Almarhum. Yang pasti, tikus akan melahirkan bagudung dan kerbau pastilah
melahirkan horbo.
Ada memang pepatah, “Jonokdo tubis sian
bonana”. Karenanya, “Begitu kelapanya, begitu juga minyaknya. Begitu
ayahnya, begitu juga anaknya.
Benarkah?
Ternyata tidak
selalu demikian. Dan memang, dalam hal apapun selalu bisa saja ada penyimpangan atau tidak sesuai dengan perkiraan.
Faktanya, ayah para Koruptor yang dijerat KPK saat ini, bukanlah
Koruptor. Bahkan, di antara mereka ada yang orang tuanya, Guru,
Pendeta, Pejuang pemberantas kemiskininan dan juga yang sangat ANTI
KORUPSI.
Dulu, ini seingat saya. Bila seorang murid berpapasan
dengan guru di luar sekolah, maka serta merta sang murid akan mengambil
posisi berdiri tegak dan berhenti di tempat, lalu
memberi salam hormat kepada Sang Guru. Saya masih ingat betul,
bagaimana saya melakukan hal itu kepada Almarhum guru saya, Gurjo, atau Guru
Johan Naibaho (mantan Guru Kepala di SD Negeri I, Pangururan) yang
lebih dikenal dengan Guru Sangasanga. Bukan karena takut. Tapi pada
saat itu, seorang guru memang ditempatkan di Singgasana TERHORMAT.
Contoh sederhananya, kalau saya mengadu ke orang tua, bahwa di Sekolah
saya dimarahi atau dilissing-dipukul oleh guru, yang saya terima dari orang
tua adalah tambahan lissing-lissing yang disertai dengan bentakan,
“Dang na oto guru lissingonna ho, anggo dang ala ni pangalahon manang otom. Taon...!”
Bayangkan, bagaimana terhormatnya guru saat itu. Sekarang?
Kini,
zaman berubah. Semua serba terbalik. Dan agaknya, saat ini, “gurulah
yang takut kepada murid”. Celaka! Mungkinkah karena “Martabat” guru saat ini
sudah diukur dengan materi? Ataukah memang, gurunya tidak pantas lagi
dihormati karena sikapnya? Saat ini, tidak jarang kita lihat, ntah
metode pendidikan apa namanya ini, guru bisa main game bersama dengan
muridnya di warung internet (warnet) sambil ngemil coklat. Dan kalau
mata beradu, serta hati terajut, tak jarang juga ada yang berlanjut ke
pelesiran…
Pepatah ini mungkin tepat, “The good public relation, begin at home—Hal baik dimulai dari rumah”. Hal baik selanjutnya, adalah Sekolah dan pergaulan di masyarakat. Mungkin, karena saat ini para orangtua lebih sibuk mencari nafkah, maka Sekolah menjadi tempat utama membentuk watak anak. Membentuk watak yang dimaksudkan di sini, ialah agar kelak si anak tidak menjadi seorang yang; pongah, egois, dan bisa berempati, serta toleran kepada sesamanya.
Menurut beberapa
pemikir dan Penggiat Anti Korupsi, dalam diri seorang yang sifatnya,
pongah, egois, yang tidak bisa berempati dan toleran kepada sesama,
ialah jika di otaknya, yang diikuti dengan perangainya, berupa keinginan
yang tidak pernah luntur untuk melakuan KORUPSI. Yang tabiatnya ANGGAR
JAGO dan yang tidak merasa malu melanggar HUKUM.
Tidak bisa tidak, dan
ini Hukum Alam. Yang tua akan menuju busuk. Yang muda dan hijau akan
tumbuh. Seperti penulis misalnya, yang kini sudah mendekati usia
pensiun, sudah menuju busuk. Makan kacang, asam urat naik. Makan yang
manis-manis, gula darah naik. Makan daging panggang b2 atau b1,
kolestrol naik. Artinya, selain rambut menuju putih semua, tubuhpun
sudah mulai reong. Dengan keadaan seperti itu, apalagi yang bisa
diharapkan?
Harapan adalah doa. Jangan berhenti berharap. Begitu
katanya. Konon, hanya orang matilah yang tidak punya pengharapan. Maka,
saat ini pun, saya masih berharap, yang muda-muda di SAMOSIR akan
tumbuh, dan yang tua—yang semoga sudah matang, sadar, bahwa tidak
mungkin melawan usia, dan kelak akan masuk Lobang. Jadi, kalau “The
good public relation begin at home” itu benar, mungkinkah, atau
barangkali, belumlah terlambat, kalau Budi Pekerti yang dulu menjadi
pelajaran utama di SD dan di SMP, diajarkan kembali, sehingga kelak,
ketika mereka sudah pemegang tampuk kepemimpinan di Negara ini, bisa
melanjutkan apa yang digagas oleh Joko Widodo, Presiden RI yang
fenomenal ini, yaitu Pemimpin harus ber-PANTANG KORUPSI. Karena, lagi-lagi saya ingin
mengatakan, untuk apalah IQ tinggi kalau tidak peduli dengan sesama.
Maka meningkatkan EQ, AQ dan juga SQ pada anak-anak di Samosir perlu
kita dorong.
***
***
Selamat Tahun Baru, 2015. Pilihlah Bupati yang :
- Tidak Pongah
- Tidak EgoisEGOIS
- Yang bisa berempati
- Yang Toleran
- Juga harus WASPADA kepada Calon-CALON yang “TOPPU BURJU”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar